Wartasulsel.net, Pangkep- Nasib nahas dialami seorang remaja di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang tewas usai melaksanakan angngaru atau ikrar di acara penyambutan pasangan pengantin, Selasa (29/10/2024). Senjata tajam keris yang digunakan tertusuk di bagian dada kiri.
Abdi Mahesa selaku Budayawan Muda Sulawesi Selatan mengaku bahwa Aru atau Osong sejatinya adalah ungkapan spontanitas lepas yang tulus dari hati seorang prajurit dalam bentuk ikrar saat akan melangkah ke medan perang atau saat pelantikan raja. kegiatan ini mulanya bersifat sakral karna hanya momen tertentu diungkapkan lalu kemudian bertransformasi ke sajian profan yang mana diiringi dengan tabuhan gendrang dan pui-pui.
“Angngaru/Osong disampaikan oleh hulubalang ke hadapan raja atau komando pasukan kerajaan sebagai ikrar bersedia untuk setia kepada raja dan negaranya sehidup semati sekalugus sebagai ungkapan yang mengobarkan energi patriotis dan semangat perlawanan. kalau sekarang macam sumpah atau janji prajurit”
lebih lanjut abdi mahesa menjelaskan
ikrar tersebut disampaikan secara bersungguh-sungguh dengan penuh kebulatan tekad bahkan jika mereka menghianat, maka dia siap dihapuskan namanya dari sejarah, telapak kakinya dihapus, makamnya dipatok dan dikenang dengan tinta merah. coba kita simak lafar angngarunya yang sama sekali kurang tepat disampaikan ke pernikahan, apalagi yang mempelai bukan seorang raja atau pemimpin kaum.
“ina inaimo sallang karaeng, temmapatojeng tojengnga, temmakkiada adaka, kusalagai sirina, kugesarai parang lakkena, berangja kunipatebba, pangkulu kunisoeang, ikau anging karaeng naikambe leko kayu, iri ko anging namarunang leko kayu, akkanamako numamio”
“Barangsiapa kiranya nanti karaeng, yang menodai kebenaran, yang menentang adat, kurubuhkan tanah pijakannya, kuleburkan ruang geraknya, aku siap menjadi kalewang yang dihunuskan, kapak yang diayun, engkau angin dan kamilah daun kayu, berhembuslah angin daku siap berhembus bersamamu, bertitahlah maka kami akan patuhi”
(abdi mahesa)
lebih jauh abdi mahesa mengharapkan agar walaupun terjadi perubahan pemerintahan, aru atau osong harus didudukkan sebagai tradisi istana dan hadir dalam situasi perang, keberadaannya tidak ditujukan pada seremoni pernikahan karna muatan isinya mengandung ikrar dan tidak cocok pada ruang pernikahan yang sejatinya sebagai ruang memberikan doa, restu dan harapan kepada mempelai. “kita tetap perlu mewariskan tapi yang substansinya diwariskan berupa memory-memory kultural dalam setiap frasa atau kalimat pada bait-baitnya bukan adegan-adegan yang ekstrim yang memicu terjadinya insiden seperti di pangkep”
lebih lanjut abdi mahesa menghimbau agar perlunya edukasi dan sosialiasi ke masyarakat ataupun wedding organizer agar mengetahui makna dan fungsi dari tradisi ini. “kegiatan ini sangat jauh kebablasan dari tujuan diciptakannya apalagi dengan modifikasi dan variasi adegan menusuk diri padahal sangat tabu menghunuskan ujung keris kepada raja dan juga sangat pantang mencabut keris kecuali dalam keadaan terdesak tema kulle riappasulu kawali punna tena diaccera“ tutup mahasiswa Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini.