Oleh : Toni Ervianto *)
Wartasulsel.net,- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menandatangani perjanjian bantuan hukum timbal balik (Mutual Legal Assistance-MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss, Senin (4/2). Perjanjian diteken setelah melalui dua kali putaran perundingan, yakni di Bali dan di Bern, Swiss.
Pensosbud KBRI Bern mengatakan perjanjian yang terdiri atas 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.
Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
Menteri Yasonna menyatakan perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud).
“Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya,” ujar Menkumham dalam siaran pers yang diterima merdeka.com, Selasa (5/2).
Atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini.
Dubes Indonesia di Bern Muliaman D. Hadad mendampingi Menkumham pada penandatanganan tersebut menyatakan perjanjian MLA RI-Swiss merupakan capaian kerja sama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa.
Dikatakannya penandatanganan MLA menggenapi keberhasilan kerja sama bilateral RI-Swiss di bidang ekonomi, sosial dan budaya, yang selama ini telah terjalin dengan baik.
Penandatanganan perjanjian MLA ini sejalan dengan program Nawacita, dan arahan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan, di antaranya pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia tahun 2018 di mana Presiden menekankan pentingnya perjanjian ini sebagai platdiv kerja sama hukum, khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Perjanjian MLA RI-Swiss merupakan perjanjian MLA yang ke-10 yang ditandatangani Pemerintah RI (Asean, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran), dan bagi Swiss adalah perjanjian MLA yang ke-14 dengan negara non-Eropa.
“Nowhere to Hide”
Diakui atau tidak, penandatanganan MLA antara Swiss dengan Indonesia adalah angin segar bagi upaya menyelamatkan dan mengembalikan kekayaan dan aset negara Indonesia yang selama ini dirampok oleh kalangan koruptor, terutama yang selama ini “disimpan” di Swiss. Penandatanganan ini adalah “awesome political gift” dari kinerja pemerintahan saat ini sebagai bentuk nyata memerangi korupsi di Indonesia yang sudah menjalar ke berbagai negara.
Keberhasilan penandatanganan MLA ini perlu dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi dengan melanjutkan kegigihannya untuk menandatangani MLA dengan beberapa negara lainnya yang diduga menjadi “tempat persembunyian” uang hasil korupsi di Indonesia. Beberapa negara yang perlu dijajal untuk dilakukan kerjasama antara lain Singapura, China, Hongkong, Amerika Serikat, Australia, New Zealand, Belanda, Jerman, dan beberapa negara lainnya termasuk di Afrika.
Kemungkinan besar KPK, PPATK dan Polri mengetahui detail kemana uang hasil menjarah di Indonesia dibawa kabur dan ditanam oleh koruptor di luar negeri, dari hasil analisa ketiga institusi keren tersebut.
Diakui atau tidak, keberhasilan dan kegigihan pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi dalam melacak keberadaan uang haram hasil korupsi akan membuat para koruptor akan ketar-ketir ketahuan biangnya, atau dengan kata lain Jokowi secara tidak langsung mengatakan kepada para maling uang rakyat dengan kata singkat “Nowhere to hide atau tidak ada tempat sembunyi”. Ini jelas merupakan modal politik dan modal kampanye bagi Jokowi-KH. Ma’ruf Amin.
Jika realisasi MLA Indonesia-Swiss ini berjalan dengan efektif dan membuahkan hasil, tentunya Indonesia akan mudah mencicil hutang luar negeri, mengurangi current account deficit bahkan membiayai berbagai proyek infrastruktur dari hasil rampasan uang yang dibawa kabur para koruptor. Namun, disisi yang lain, Jokowi juga harus siap dan mengantisipasi munculnya “driving forces” ataupun “strategic surprises” dari kalangan koruptor mengantisipasi penandatangan MLA ini antara lain mereka “membenci” Jokowi dan melawan balik dengan berbagai macam cara, termasuk membiayai operasi-operasi kelompok radikal/teror di Indonesia, karena tidak menutup kemungkinan para koruptor daripada “dimiskinkan” mereka kemudian berprinsip “semua kalau perlu sama-sama tidak dapat uangnya atau total football attacks from them”. Bahkan, Jokowi jangan kaget jika ada kemungkinan dalam “inner cycle”nya saat ini juga terkena imbas penandatanganan MLA ini. Diakui atau tidak, perilaku korupsi sudah sangat berjamaah di Indonesia. Namun, sekali lagi keberhasilan penandatangan MLA harus diakui sebagai “amazing political achievement from incumbent”.
*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI). Pengamat dan penulis masalah Polkam dan internasional issues.