Oleh : Ika Farihah Hentihu*
Wartasulsel.net,- Atraksi Gantao adalah jenis tarian berasal dari Sulawesi Selatan dengan
nama asli Kuntao. Namun di Bima diberi nama Gantao. Atraksi seni yang mirip pencak silat tersebut berkembang pesat sejak abad 16. Dimana pada saat itu hubungan antara Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa cukup erat. Atraksi Gantao dapat dikategorikan dalam seni bela diri (silat). Karena dalam
setiap gerakannya, selalu mengikuti aturan musik tradisional Bima seperti suara gendang, gong, tawa-tawa dan sarone.
Pada zaman dahulu, setiap kegiatan acara dalam lingkungan Istana, atraksi Gantao selalu digelar. Bahkan menjadi ajang bertemunya para pendekar dari pelosok. Hingga saat ini, Gantao juga masih tetap dilestari oleh masyarakat Bima. Karena setiap acara sunnatan dan perkawinan, selalu digelar. Kalau
dihubungkan dengan berbagai adat dan budaya di Sulawesi Selatan, ada juga pencak silat asli daerah Galesong Makassar yaitu Pamanca. Seni bela diri
yang awal mulanya dipelajari oleh Sultan Hasanuddin dan Karaeng Galesong
ini bisa jadi adalah embrio dari seni bela diri Gantao di Bima.
Seperti yang disebutkan dalam sejarah Gowa, Bima adalah daerah ekspansi kerajaan dengan pemimpin kuat yaitu Sultan Hasanuddin. Keberangkatan ke
Bima saat itu dikomando oleh salah satu Raja Gowa saat itu Karaeng
Bontomaranu. Misi ekpansi kepada daerah berpotensi seperti Bima tentunya membawa pula misi-misi budaya seperti yang sering didengungkan yaitu Tiga
Ujung Capaq, yaitu capaq ujung mulut atau diplomasi, capaq ujung badiq atau penggunaan alat senjata badiq dengan musuh, dan capaq yang terakhir adalah sarana menikahi putra putri dari negeri seberang seperti yang juga dilakukan di Bima. Sehingga secara tidak langsung budaya Sulawesi Selatan
dibawa ke Bima, hingga kemudian hampir seluruh nafas kehidupan adat budaya Bima mirip dengan adat dan budaya Sulawesi Selatan.
Seperti contoh baju adat Poro yang bentuk dan warnanya tidak jauh beda dengan baju Bodo yang dipergunakan oleh para wanita Bugis Makassar. Pada masa lalu, wanita Mbojo memiliki tata busana harian yang terdiri dari Baju Bodo atau Baju Poro yaitu baju berlengan pendek yang mendapat pengaruh
dari Makasar. Warna baju Bodo melambangkan status pemakaianya. Baju Poro
berwarna merah adalah untuk para gadis. Baju Poro berwarna hitam dan ungu adalah untuk kaum ibu. Sedangkan warna kuning dan hijau adalah untuk wanita
keluarga sultan. Di ujung lengan baju di pasang “Satampa baju”, berfungsi sebagai penutup lengan dan juga sebagai asesoris. Tetapi pada masa kini, seiring pesatnya pemakaian Jilbab, untuk menutup lengan hingga pergelangan tangan, kaum wanita menggunakan manset penutut dengan berbagai macam warna yang disesuaikan dengan warna baju poro. Demikian juga masalah warna, wanita Mbojo sudah tidak lagi mengikuti aturan dan tata cara masa lalu.
Warna Baju Bodo sudah disesuaikan dengan selera zaman.
Untuk pakaian bawah, pada masa lalu menggunakan Tembe su’i atau tembe
songke (sarung songket), warna dasar merah atau coklat dan ada juga yang
berwarna hitam. Sedangkan motif yang umum digunakan adalah motif garis –
garis kecil, kakando dan pado waji yang dihiasi dengan sulaman benang emas dan perak. “ Ada juga yang memakai “tembe bali mpida” (sarung bermotif
nggusu upa segi empat dengan ukuran kecil). “ Ungkap salah seorang piñata tari Linda Yuliarti M. Hilir. Untuk aksesoris, menggunakan Giwa Mpida (Giwang kecil ) dan Karabu To’I (jenis giwang berbentuk bunga samobo atau
Bunga sekuntum). Sedangkan untuk tata rambut, menggunakan Samu’u Cangga
(Sanggul Khas Bima), pada sanggul dipasang tiga tangkai bunga jampaka (cempaka) berwarna kuning symbol kejayaan kaum ibu.
Pada masa lalu, kaum ibu termasuk gadis, tidak dibenarkan memakai perhiasan dari emas atau perak yang berlebih – lebihan, walau permaisuri
dan putri sultan. Konsep kesederhanaan sangat Nampak dalam penampilan yang
melarang memamerkan kekayaan dengan memakai gelang dan kalung dari emas dan
perak.
Lain lagi Pakaian wanita Mbojo untuk upacara dan hajatan-hajatan seperti khitanan. pada masa lalu mereka menggunakan Baju poro (baju bodo) bewarna
merah atau coklat, khusus bagi putri sultan berwarna kuning atau hijau, tembe songke (sarung songket).Kondo lo’I (Kalung Obat), simbol kesehatan
rohani dan jasmani, Kawari berbentuk segi tiga atau lingkaran, Kondo randa (kalung panjang), Jima ancu (gelang untuk lengan), Ponto (gelang besar), Bangka (sejenis anting besar). Semua jenis perhiasan dari emas yang dipakai merupakan simbol harga diri dan martabat kaum perempuan yang harus
dijaga dan dipilihara.
Sedangkan untuk kegiatan khatam Alqur’an atau yang dikenal dengan Khata
Karo’a, wanita Mbojo menggunakan Baju kabaya (baju kebaya), berwarna putih
atau kuning dan ada pula yang berwarna hajau,Tembe bali mpida (sarung bermotif garis membentuk kotak segi empat kecil) dan Todu lanta (kerudung putih).
Penulis adalah pengamat budaya Sulsel dan mahasiswi Doktoral bidang Linguistik Deskriptif UNS.
(EML/redws)