Oleh : Doddy Soemintardjo*
Wartasulsel.net,- Jika tidak ada aral melintang, dalam waktu dekat akan dilakukan penetapan Paslon Capres-Cawapres, dilanjutkan dengan pengambilan nomor urut Paslon dan mulai kampanye pada 23 September 2018 sampai 13 April 2019 dan pada 17 April 2019 dilaksanakan Pileg dan Pilpres 2019. Setelah itu, masyarakat Indonesia dan global akan mengetahui siapa Presiden Indonesia ke-8 apakah tetap Joko Widodo ataukah Prabowo Subianto yang terkenal dengan sebutan “08” tersebut.
Sekarang yang paling penting bagi kita semua adalah bagaimana kita dapat melaksanakan hajatan politik 2019 tersebut berjalan aman, lancar, demokratis, berintegritas dan beradab. Oleh karena itu, kedua kubu yang maju dalam Pilpres terutama kalangan juru bicara ataupun prominent figurenya untuk tidak mudah “nyinyir”, “kurang cerdas” dan “reaksioner” dalam mengomentari manuver lawan politiknya, sehingga jika hal tersebut tetap dilakukan, maka mereka akan dinilai sebagai “pembuat onar, gaduh politik, provokator dan problem maker” yang justru akan merugikan Capres yang didukungnya, sehingga perlu dipertimbangkan untuk “dieliminasi” dalam koalisi masing-masing. Soal nama koalisi apakah Koalisi Indonesia Kerja atau Koalisi Adil Makmur sama sama bagus dan tidak perlu dikomentari secara “nyinyir” oleh kedua kubu.
Sebenarnya masih ada beberapa hal yang perlu mendapat atensi agar Pileg dan Pilpres 2019 lancar yaitu ada tidaknya anggaran, pro kontra DPT, netralitas aparat negara (ASN, TNI dan Polri), dan gangguan keamanan. Kedua kubu koalisi sebaiknya perlu menyosialisasikan pandangannya terhadap masalah ini. Jika ada resep resep politik yang jitu dari kedua kubu terkait masalah ini, maka simpati massa kepada mereka akan merebak.
Sebaiknya menyikapi sejumlah isu sensitif seperti isu PKI vs isu khilafah, isu radikalisme vs isu “Suriahnisasi” dan berbagai isu yang kalau dikembangkan hanya cenderung melahirkan bigotry, hate-speech dan “oposisi binner” sebaiknya tidak dikembangkan menjadi debat publik, karena cita-cita bersama untuk menjaga agar rajutan kebhinekaan dan nasionalisme kita tetap terjaga dan tidak terkoyak dapat menjadi kenyataan. Oleh karena bukan ciri demokrasi yang beradab jika isu isu tetap “dipelihara”. Indonesia bisa set back gara gara hal ini.
Lembaga survei dan media massa harus tetap menjadi corong demokrasi yang jujur, ikhlas dan tidak berpihak. Sejumlah media massa dan lembaga survei yang telah atau akan menggadaikan “profesionalisme profesinya” hanya untuk mengejar tujuan pragmatis jangka pendek atau “judi politik” pasca Pilpres, maka nasibnya tidak akan lama dan akan dicatat sebagai “musuh demokrasi”.
Sementara untuk kedua kubu juga harus menghitung ulang kalkulasi politiknya, karena sikap elit Parpol dalam mendukung atau tidak mendukung salah satu Paslon belum tentu sama atau equivalen dengan aspirasi basis massanya. Disamping itu, Parpol yang mengalami konflik internal dan gagal melakukan kaderisasi sebenarnya hanya jadi “beban politik” Paslon yang mereka dukung. Lastly, kubu koalisi yang reaksioner, tidak cerdas dalam membaca perkembangan lingkungan strategis menjelang Pilpres dan kurang memiliki strategi kampanye yang tepat hampir dapat dipastikan akan “nyinyir dan gigit jari” di akhir ronde pertarungan.
Urgently for stressing adalah mencermati kemungkinan “global major powers” terkait Pilpres di Indonesia, karena bagaimanapun juga kepentingan nasional mereka di negara “world of heaven” ini tidak terganggu.
*Penulis adalah peminat kajian informasi strategis.