Oleh: Idi Amin, S.Pd., M.Pd
Wartasulsel.net, – Pangkep. Dalam konteks masyarakat, secara sederhana keluarga diartikan sebagai komunitas yang terdiri atas anak dan orangtua. Bila ditinjau secara lebih luas, keluarga bisa saja lebih dari itu, ada kakek-nenek, sepupu, paman atau tante bahkan dengan teman sekolah atau tetangga sekalipun bisa dikatakan keluarga. Namun dalam mengarungi kehidupan, orang tua dan anak jauh lebih dekat serta lebih banyak berinteraksi dan membentuk jalinan simbiosis mutualisme dimana mereka saling membutuhkan dan memengaruhi satu sama lain.
Bila dilihat dari pesan agama, anak merupakan harta titipan yang diberikan oleh Tuhan kepada orang tua. Baik buruknya kelakuan anak merupakan indikator pencapaian orang tua dalam mendidik mereka. Oleh karena itu, orang tua harus mampu berperan aktif dalam menentukan masa depan anak-anaknya.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah banyaknya kasus kriminal yang melibatkan anak-anak baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Namun yang paling ironis adalah apabila anak-anak berperan sebagai pelaku kejahatan. Hal ini perlu dicermati mengingat mereka masih berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan baik secara psikologi maupun fisiologi. Pada fase tersebut, mereka seharusnya mendapatkan bekal pendidikan dan bimbingan dari keluarganya.
Dalam konteks tradisional suku Makassar, sangat kental istilah yang dikenal dengan sebutan Siri’ na Pacce. Kata Siri’ diartikan “malu”, na berati “dan” sementara pacce berarti “sakit/ pedih”. Kedua kata ini selalu berbarengan dalam penggunaan istilah sehari-hari.
Siri’ merupakan karakter turun temurun yang mengajarkan anak-anak agar malu melakukan hal-hal jelek atau buruk yang dapat merusak citra (nama baik) sendiri, keluarga dan suku. Rasa siri’ juga berkaitan dengan harga diri sehingga orang yang tidak menanamkan siri’ disamakan dengan orang yang tidak mempunyai harga diri. Sebagai sebuah budaya, karakter siri’ tidak hanya diterapkan dalam kehidupan sosial melainkan juga dalam kehidupan spiritual.
Penanaman nilai-nilai karakter siri’ sebenarnya sudah diterapkan dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, beberapa sekolah menekankan budaya malu melalui spanduk yang bertuliskan malu datang terlambat, malu menyontek, malu berbuat salah, malu membuang sampah sembarangan dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. Ungkapan ini sebenarnya salah satu bentuk pembelajaran karakter yang harapannya kelak dapat ternanam dalam diri peserta didik. Hanya sayangnya, tulisan-tulisan seperti ini terkadang hanya dianggap sebagai suatu himbauan dan tidak dijadikan sebagai suatu karakter. Akibatnya, rasa malu itu tidak terbawa hingga dewasa.
Maraknya perilaku korupsi yang dilakukan oleh pejabat merupakan implikasi dari tidak adanya rasa siri’ dalam dirinya. Mereka seolah-olah tidak punya harga diri dan tak malu lagi untuk mengambil harta yang bukan haknya. Tak punya harga diri di hadapan manusia dan tak punya malu dihadapan Tuhan. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwasanya siri’ itu bukan hanya terhadap sesama manusia (sosial) melainkan juga terhadap sang pencipta (spiritual). Seorang koruptor bisa saja berkelit dari pandangan manusia tetapi tidak demikian dengan Tuhan. Hal ini tentu berbeda dengan orang yang selalu menanamkan rasa siri’ dalam dirinya yang mana akan timbul rasa malu untuk melakukan segala hal yang buruk sebab dia menganggap Tuhan selalu melihatnya.
Adapun pacce merupakan perasaan sakit atau pedih apabila ada anggota keluarga atau orang lain yang mendapatkan kesusahan. Namun secara luas, rasa pacce lebih menggambarkan rasa kebersamaan atau kekeluargaan. Orang yang memiliki rasa pacce akan selalu berusaha untuk menjaga hubungan dengan keluarga, kerabat bahkan dengan orang lain. Mereka menganggap bahwa musibah yang menimpa orang lain atau anggota keluarganya dianggap sebagai musibahnya juga.
Salah satu tokoh Nasional yang sangat menanamkan nilai-nilai kemanusian dalam karakter siri’ na pacce ini adalah Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia, H.M. Yusuf Kalla. Beliau merupakan orang Makassar yang sangat terkenal dan konsisten menjalankan karakter tersebut. Semenjak beliau memegang jabatan terkecil hingga jabatan sebagai wakil presiden, tidak pernah sekalipun beliau terdengar bersentuhan dengan masalah hukum misalnya terlibat kasus korupsi. Beliau tahu betul apa dan bagaimana menjalankan nilai-nilai siri’ itu, apatah lagi dengan jabatan beliau saat ini yang membawa nama dan perwakilan orang-orang Sulawesi.
Tidak hanya itu, beliau juga menjabat sebagai ketua Palang Merah Indonesia. Hal ini menandakan bahwa rasa pacce beliau terhadap sesama sangat tinggi dimana beliau ikut terpanggil untuk menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sebagai ketua PMI, namanya sering disebut dalam beberapa bencana alam di Indonesia. Media juga meliput bagaimana tanggapnya pak Yusuf Kalla dalam Erupsi Gunung Merapi 2010. Ketika itu beliau tidak memegang posisi pemerintahan. Begitupun halnya ketika terjadi pertikaian di Poso beberapa tahun yang lalu. Beliau terpanggil menyelesaikan perikaian yang banyak korban tersebut. Jasa beliau tak dapat dilupakan sebab menjadi juru runding yang pada akhirnya situasi yang mencekam dapat diredakan.
Ini menandakan bahwa pendidikan karakter siri’ na pacce yang diberikan oleh orang tua beliau, Haji Kalla kepada keturunannya sudah terpatri dengan baik. Satu bukti konkrit bahwa keluarga memegang peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan seorang anak. Ketika dalam diri seseorang sudah tertanam betul karakter ini, maka perilaku-perilaku buruk dan memalukan dapat dihindari.
Namun sangat disayangkan, karakter siri’ na pacce semakin berkurang di kalangan masyarakat saat ini lantaran ditengarai oleh pengaruh kehidupan manusia yang semakin modern. Kuatnya budaya matrealisme dan sekularisme semakin mendorong manusia untuk berbuat sesuka hatinya tanpa memperhatikan kehadiran orang lain. Budaya matrealisme menekankan seseorang untuk memperkaya diri sendiri dengan jalan apa pun sementara budaya sekularisme menekankan seseorang untuk enggan mempedulikan orang lain.
Penekanan terhadap karakter siri’ na pacce seyogyanya perlu terus diupayakan terhadap anak-anak mengingat mereka masih berada pada fase pengenalan dan pembelajaran. Disinilah keluarga memegang peranan penting sebagai fasilitator dan katalisator. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang tua merupakan keluarga terdekat dari anak-anak. Mereka inilah yang seharusnya memegang peranan dalam mengenalkan karakter ini kepada anak-anak melalui suatu edukasi.
Oleh karena itu, bukanlah hal yang terlambat bagi seluruh keluarga untuk menanamkan karakter siri’ na pacce sebagai bagian dari pendidikan keluarga. Bukan hanya untuk orang-orang dengan suku Makassar semata melainkan seluruh warga Indonesia perlu menanamkan karakter ini. Timbulnya kriminal, korupsi atau kejahatan lain memang dapat diredam melalui berbagai cara namun setidaknya penanaman karakter siri’ na pacce dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pencegahan. Satu hal yang perlu digarisbawahi, sebelum karakter ini diajarkan oleh orang tua dalam keluarga, maka merekalah yang pertama-tama harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas bila kita sebagai masyarakat biasa sudah berupaya untuk menanamkan karakter siri’ na pacce, sanggupkah para pejabat-pejabat di negara ini menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Penulis Merupakan Guru Penjasorkes SMAN 11 Pangkep