WARTASULSEL.NET, – Prabowo Subianto harus tahu dan sadar bahwa SBY dan Partai Demokrat sangat terbatas logistiknya untuk mendukung duet Prabowo-AHY yang hampir pasti mudah dikalahkan Jokowi.
”Prabowo-AHY bakal kalah, mudah kalah, yang untung Jokowi, ” kata tokoh senior GMNI ITB yang enggan disebut namanya.
”Prabowo harus sadar dan hati-hati bahwa AHY terlalu prematur, baru saja kalah di Pilgub DKI, masak mau nekad melawan Jokowi, itu waton suloyo (asal melawan tapi kalah) bikin lelah dan sinisme publik,” ungkap Muhamad Nabil MA, peneliti Center for the Study for Religion and Culture- CSRC UIN Jakarta.
Mantan Presiden SBY diprediksi tidak akan all out membantu logistik dan sumber daya manusia dan sarana lain bagi duet Prabowo-AHY di Pilpres 2019 karena SBY sudah tahu duet Prabowo- AHY itu bakal kalah melawan Jokowi. “Dalam praktiknya pemilu pilpres 2019 nanti bisa jadi mengalami malpraktek dan kecurangan disana-sini karena para kontestan hanya berebut uang dan kekuasaan sehingga mudah menghalalkan segala cara,” ujar analis independen Reinhard MSc.
Pengamat politik dari New Indonesia Foundation, ini menilai, jika dalam Pilpres 2019 hanya terbentuk dua poros koalisi, yakni Jokowi melawan Prabowo Subianto, maka peran calon wakil presiden (Cawapres) merupakan faktor yang sangat menentukan.
Menurutnya Prabowo akan menang bila menggandeng Rizal Ramli (RR) sebagai Cawapres. Reinhard mengungkapkan tiga alasan mengapa ekonom senior itu menjadi faktor penentu kemenangan Prabowo atas Jokowi.
Pertama, RR merupakan ekonom di Indonesia yang paling paham kelemahan pembangunan ekonomi Jokowi. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja ekonomi pemerintahan Jokowi, akan bermuara kepada sosok ekonom yang mereka anggap paling mampu memperbaikinya.
“Publik kurang puas dengan pembangunan infrastruktur Jokowi yang tidak berhubungan dengan membaiknya perekonomian mereka, daya beli rakyat tidak membaik, impor pangan semakin gencar, ketimpangan pendapatan tetap tinggi, dan pertumbuhan ekonomi stagnan 5 persen. Pada saat yang sama mereka melihat dan membaca RR banyak memberikan solusi-solusi terobosan untuk atasi semua masalah ekonomi tersebut,” jelas Reinhard dalam keterangan tertulisnya.
Kedua, RR adalah simbol keberpihakan rakyat, hal ini dibuktikan dalam rekam jejak sebagai tokoh pergerakan selama 40 tahun, sejak 1978. Dengan menyingkirkan RR dari kabinet, sama saja Jokowi menghilangkan simbol keberpihakan rakyat dari pemerintahannya. Hal ini terutama tergambar jelas dari kasus Reklamasi Teluk Jakarta.
“Publik seluruh Indonesia paham benar bahwa RR di-reshuffle oleh Jokowi setelah berani hentikan reklamasi Pulau G milik Agung Podomoro karena alasan teknis (pipa gas dan PLN) dan kerakyatan (nelayan). Perlu diingat isu reklamasi terbukti sangat ampuh ketika diangkat oleh Anies Baswedan mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. RR adalah pemilik saham terbesar atas isu reklamasi ini, bukan Anies. Dan isu reklamasi jelas akan muncul lagi saat Pilpres 2019,” tegas Reinhard.
Ketiga, sambung Reinhard bangsa ini membutuhkan negarawan berkapasitas internasional yang mampu mengimbangi agresivitas Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Apalagi setelah pemimpin RRT, Xi Jinping dimungkinkan menjabat lebih dari dua periode oleh Kongres Nasional Tiongkok. RR dinilai dapat mengimbangi Xi, karena RR adalah penasehat ekonomi PBB bersama tiga orang peraih Nobel Ekonomi.
“Publik melihat Jokowi sangat lemah dalam melakukan negosiasi dengan pemerintah RRT. Terutama terlihat dari masih maraknya isu membanjirnya tenaga kerja asal Tiongkok di Indonesia, yang sangat meresahkan publik. Terkait kisruh Laut Cina Selatan pun, posisi pengakuan Indonesia atas Laut Natuna Utara juga masih diingat publik sebagai inisitatif RR sejak saat masih menjabat Menko Kemaritiman Jokowi,” ujarnya.(sb.wartansional.net)