Gerakan Nasional Mencegah Terorisme

Kriminal236 views

Terorisme adalah kejahatan luar biasa yang perlu ditangani dengan serius. Di Indonesia, aksi teror tidak bisa dipandang sebelah mata karena sudah banyak menimbulkan korban dan terus terjadi hingga akhir-akhir ini.

Sejak awal tahun 1980 aksi teror yang pernah terjadi di Indonesia antara lain Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985). Memasuki era reformasi aksi teror terjadi pada rumah Duta Besar Filipina, Gedung BEJ, dan  bom malam natal (2000). Selanjutnya aksi teror terjadi di Bali (2002),  Hotel J.W. Marriot Jakarta (2003),  Kedutaan Australia di Jakarta (2004) dan di Bali untuk yang kedua kalinya (2005).

Daeng Manye

Di Poso aksi teror menyasar tempat ibadah dan fasilitas umum (2006). Selanjutnya aksi teror terjadi di Hotel J.W. Marriot dan Ritz-Carlton (2009).  Di Aceh warga sipil menjadi sasaran aksi teror yang dilakukan jaringan Abu Tholud (2010). Aksi perampokan Bank CIMB Niaga di Medan juga terbukti sebagai aksi dari kelompok teroris (9/2010).

Bom bunuh diri di masjid Mapolres Cirebon (11/4/2011)  menjadi tanda bahwa polisi juga menjadi sasaran teror dari kelompok radikal. Di Solo terjadi penembakan dan pelemparan granat ke beberapa pos polisi (9/2012).

Dua anggota polisi dari Polres Poso ditemukan tewas di Hutan Tamanjeka sebagai korban aksi teros (10/2012). Menyusul kejadian tiga anggota Brimob Sulawesi Tengah yang ditembak di kawasan Tambarana (20/12/2012).

Aksi teror terhadap polisi terus terjadi. Anggota Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat, Aipda Patah Saktiyono ditembak di Pamulang Banten (27/7/2013). Aiptu Dwiyatno tewas ditembak oleh orang tak dikenal di Ciputat Banten (7/8/2013). Beberapa hari kemudian, Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak di Pondok Aren Banten. Bripka Sukardi menyusul tewas ditembak di depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan (10/9/2013).

Pada tahun 2014, Polisi berhasil menekan terjadinya aksi teror dengan sejumlah penangkapan. Setelah itu aksi teror terjadi di Mall Alam Sutera (2015). Tahun berikutnya  aksi teror terjadi di Thamrin Jakarta, Surakarta dan Tangerang, yang menjadikan polisi sebagai sasaran teror. Sementara aksi di Medan dan Samarinda menyasar tempat ibadah (2016).

Beberapa pelaku teror di Indonesia tenyata adalah mantan narapidana kasus terorisme. Hal tersebut di atas tentu cukup mengkhawatirkan dan bisa menjadi ancaman serius di Indonesia.  Dalam waktu terakhir ini, aksi teror yang dilakukan oleh mantan narapidana kasus terorisme diantaranya adalah aksi bom Samarinda (13/11/2016). Pelaku Jo bin Muhammad Aceng Kurnia adalah mantan narapidana kasus terorisme yang menjalani hukuman sejak tahun 2012 dan bebas pada tahun 2014.  Sunakim (napi kasus pelatihan militer Jalin Jantho, bebas September 2015) pelaku kemudian melakukan aksi bom Thamrin. Selain itu ada pula Yayat Cahdiyat (napi kasus pelatihan militer Jatho yang bebeas April 2015), pelaku aksi teror bom panci di Cicendo Bandung Februari 2017.

Fakta yang menunjukkan mantan narapidana terorisme kembali menjadi pelaku teror setelah bebas dari hukuman tidak berarti deradikalisasi gagal. Banyak contoh keberhasilan program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu contoh kesuksesan program deradikalisasi adalah yang dilakukan terhadap Nasir Abas, Mantan Panglima Mantiqi III Jamaah Islamiyah.  Nasir Abas sekarang justru membantu BNPT dan Polri.

Keberhasilan program deradikalisasi juga dirasakan oleh Khairul Ghazali, yang sekarang mendirikan pesantren di Makassar. Khairul Ghazali melalui pesantrennya mengajak para kombatan, eks kombatan, serta sanak keluarganya untuk kembali ke jalan yang benar. Keberhasilan deradikalisasi juga terjadi pada Ali Imron, Abu Tholut, Abdurrahman Ayyub, dan Yudi Zulfahri yang pernah mendekan di penjara selama 5,5 tahun karena kasus terorisme.

Jika deradikalisasi adalah melakukan penanganan terhadap orang yang sudah mempunyai paham radikal agar menjadi tidak radikal, maka perlu juga membuat program untuk mencegah orang terkena paham radikal. Hal ini harus dilakukan mengingat pemain-pemain baru aksi teror muncul dan membuat aksi yang membahayakan seperti pelaku teror di Gereja Katolik Medan (28/8/2016).

Radikalisasi harus dicegah dan dilawan sejak dini (kontra radikalisasi). Radikalisasi yang dibawa melalui penyebaran narasi, propaganda dan ideologi  secara langsung/tatap muka ataupun melalui media seperti internet harus dilawan dan dihentikan.

Radikalisasi bisa dicegah dan dilawan dengan melakukan ujaran-ujaran damai, bersikap toleran, dan menguatkan nasionalisme. Hal ini tentu harus dilakukan secara masif dan sistematis oleh negara dan seluruh unsur masyarakat, termasuk melalui sekolah atau lembaga pendidikan sejak dini. Bahkan kelompok-kelompok perempuan bisa menjadi agen kontra radikalisasi yang efektif karena peran perempuan yang besar sebagai pendidik di keluarga.  Terorisme sebagai dampak paham radikal harus dicegah dan dilawan dengan gerakan nasional.

Melawan terorisme tidak bisa hanya diserahkan kepada BNPT. Masyarakat secara luas bersama-sama dengan negara harus melawan terorisme. BNPT secara kelembagaan harus lebih dikuatkan sebagai leading sector dalam penanggulangan terorisme. Terorisme sebagai salah satu kejahatan luar biasa perlu ditanggani dengan luar biasa, untuk itu BNPT perlu diberi kewenangan yang tepat dan lebih kuat. Penguatan BNPT adalah bukti kehadiran negara bersama masyarakat dalam sebuah perlawanan terhadap terorisme.

Gerakan nasional mencegah terorisme melalui kontra radikalisasi jika dilakukan dengan sukses akan membuat penanggulangan terorisme menjadi lebih efektif dan efisien. Namun sebaliknya, jika paham radikal dibiarkan tidak dicegah dan tidak dilawan bahkan diberi kesempatan hadir di tengah masyarakat, sementara toleransi dan nasionalisme hanya menjadi slogan, maka terorisme justru sedang dipupuk lebih subur.

 

*) STANISLAUS RIYANTA, pengamat terorisme, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.