Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan melakukan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak pada Februari 2017. Kali ini tercatat ada 101 kepala daerah yang akan dipilih, terdiri dari kelapa daerah di 7 propinsi, 76 kabupaten dan 18 kota. Pilkada serentak tahun 2017 perlu dicermati dan disiapkan dengan baik terutama pada tingkat propinsi di Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua. Tingkat kerawanan pilkada pada tingkat propinsi lebih tinggi dibandingkan tingkat kabupaten atau kota mengingat sebaran wilayah dan pesertanya lebih luas dan beragam.
Seperti pada pilkada tahun 2015, pilkada tahun 2017 ini diperkirakan akan dinamis dan penuh tantangan. Meskipun berlabel pesta demokrasi, yang layaknya sebuah pesta penuh dengan kegembiraan, bisa jadi pesta demokrasi berubah menjadi euforia dan huru hara karena emosi dan sentimen yang berlebihan. Kekecewaan atas sebuah pesta demokrasi bagi yang tidak menang adalah suatu kewajaran dan harus disiapkan oleh semua calon, namun kekecewaan yang berlebihan harus diwaspadai karena bisa memanfaatkan massa dan berujung pada konflik horizontal.
Ketidakpuasan atas hasil pilkada, jika memang merasa ada kecurangan, sebaiknya dituntut melalui mekanisme hukum positif yang berlaku, bukan menjalankan aksi hukum rimba. Bercermin pada pilkada tahun 2015 yang diikuti oleh 268 daerah, terdapat 150 gugatan yang dilayangkan oleh pihak-pihak yang tidak puas ke Mahkamah Konstitusi. Dari 150 gugatan tersebut ada 5 perkara gugatan yang ditindaklanjuti oleh Mahkamah Konsitusi.
Konflik pilkada beberapa kali terjadi di Indonesia, misalnya seperti terjadi di Kabupaten Tuban Jawa Timur (2006) yang berakibat beberapa bangunan rusak. Di Tana Toraja Sulawesi Selatan (2010) konflik pilkada mengakibatkan korban 1 tewas, 10 orang luka berat dan kerusakan bangunan. Kabupaten Mojokerto Jawa Timur (2010) konflik pilkada mengakibatkan 22 mobil hancur. Catatan tentang konflik pilkada pada era reformasi bisa ditulis lebih panjang lagi, namun yang paling penting adalah mengetahui bahwa konflik pilkada paling besar disebabkan oleh ketidaksiapan peserta pilkada untuk kalah.
Untuk menghadapi pilkada 2017 yang dinamis dan penuh tantangan, maka perlu dilakukan analisis ancaman, analisis kerawanan dan analisis risiko sebagai dasar menentukan langkah-langkah pencegahan, penanganan dan pemulihan. Langkah ini dibuat untuk menghadapi situasi yang berpotensi menjadi gangguan keamanan dan ketertiban.
Ancaman
Ancaman terbesar dari Pilkada DKI 2017 adalah reaksi pihak yang tidak siap kalah. Reaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mau menerima hasil pilkada bermacam-macam. Bagi pihak yang sadar hukum akan melakukan gugatan terhadap hasil pilkada melalui jalur hukum di Mahkamah Konstitusi. Namun bagi pihak yang tidak (mau) sadar hukum, biasanya akan menggunakan cara-cara yang destruktif bahkan teror dengan melakukan aksi yang menakutkan dan merugikan untuk memaksakan kehendaknya.
Kemungkinan pihak yang tidak menerima hasil pilkada bisa menggunakan berbagai cara, di level atas menggunakan cara-cara hukum positif, namun di level bawah menjalankan hukum rimba. Jika ada tindakan hukum atas aksi-aksi yang melanggar hukum oleh pihak ini maka akan melepaskan tanggung jawab kepada pelaku dari level bawah, bahkan akan memanfaakan level grass root untuk mempekeruh suasana. Aksi-aksi destruktif semakin masif jika ada katalisator isu-isu sensitif seperti isu SARA.
Pihak yang diprediksi bisa melakukan aksi destruktif karena tidak mau menerika hasil pilkada biasanya adalah pihak yang paling banyak mengeluarkan modal, atau sudah sudah terlanjut mengorbankan sesuatu yang tidak bisa kembali lagi. Hal ini terjadi misalnya terhadap calon yang telah kehilangan karir atau status sebelumnya yang harus dilepas sebagai syarat mengikuti pilkada.
Potensi tindakan destruktif terjadi oleh calon di atas sangat besar terutama jika calon tersebut mempunyai pendukung fanatik dan dalam jumlah yang besar. Cara-cara ini akan digunakan untuk mempengaruhi atau memberikan tekanan kepada pengambil keputusan agar kemauannya dituruti. Model mengerahkan massa dan melakukan tekanan dengan cara kekerasan bisa menjadi tidak terkendali sehingga menjadi sebuah konflik horizontal. Peserta pilkada yang kalah, tidak mau menerima hasil pilkada, tidak mau menempuh langkah hukum, cenderung akan menggunakan cara destruktif sebagai luapan kekecewaan.
Ancaman lain yang potensial dalam Pilkada DKI 2017 adalah adanya politik uang. Meskipun ada kecenderungan bahwa pemilih di DKI Jakarta termasuk pemilih dengan tingkat rasional tinggi dan tidak mudah tergoda oleh uang, namun penggunaan politik uang kemungkinan tetap ada untuk mengambil porsi pemilih yang masih gamang dengan pilihannya atau pemilih oportunis. Politik uang bisa dilakukan secara langsung dengan serangan fajar, atau dengan cara lain seperti janji-janji pembagian uang. Cara ini tentu saja mencederai demokrasi dan berpotensi menjadi konflik.
Dari analisis diatas, maka dapat diketahui bahwa tingkat ancaman pada Pilkada DKI 2017 termasuk tinggi. Hal ini selain didasarkan potensi-potensi yang bisa terjadi, juga didasarkan atas peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Jakarta terutama yang menyangkut SARA.
Kerawanan
Titik rawan dalam pilkada DKI 2017 jika tidak diatasi dan dikelola akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai pintu masuknya ancaman. Secara umum yang bisa menjadi titik rawan dalam pemilu seperti pelanggaran kampanye, daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah, penghitungan hasil pemilihan yang dianggap curang, surat suara yang rusak atau tidak standard, dan hal-hal lain yang menganggu proses pemilihan. Titik rawan ini akan dijadikan alasan dan triger bagi pihak yang tidak puas untuk melakukan aksi-aksi menentang hasil pemilu.
Selain masalah teknis penyelenggaraan kampanye dan pemilihan, titik rawan Pilkada DKI 2017 terdapat pada masalah administratif menyangkut status dan syarat calon kepala daerah yang mengikuti pilkada. Calon kepala daerah yang terkena atau sedang menjalani proses hukum sangat rawan menjadi masalah seperti tuntutan atau bahan agitasi yang bisa berujung pada konflik antar pendukung.
Data pemilih sangat rawan menjadi sumber gangguan pada pilkada DKI 2017. Dugaan adanya pemilih ganda atau warga yang tidak terdaftar akan menjadi sumber masalah. Sumber data pemilih yang berasal dari eKTP masih perlu ditinjau lagi validitasnya mengingat eKTP sendiri saat ini masih belum tuntas 100%.
Logistik pilkada perlu diperhatikan juga dengan cermat agar tidak menjadi penghambat dalam pelaksanaan pilkada DKI 2017. Seharusnya mengingat Jakarta dalah Ibukota Negara dan tidak ada hambatan berarti di Jakarta untuk masalah geografis dan transportasi, jika masih ada masalah pada logistik pilkada tentu sangat memalukan.
Data pemilih sangat rawan menjadi sumber gangguan pada pilkada DKI 2017. Dugaan adanya pemilih ganda atau warga yang tidak terdaftar akan menjadi sumber masalah. Sumber data pemilih yang berasal dari eKTP masih perlu ditinjau lagi validitasnya mengingat eKTP sendiri saat ini masih belum tuntas 100%.
Kesibukan yang luar biasa pada pilkada DKI 2017 akan menciptakan celah keamanan (security gap) yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menciptakan situasi tidak kondusif. Pihak yang kemungkinan memanfaatkan situasi ini adalah kelompok radikal, yang akan menggunakan cara-cara teror guna memaksakan kepentingan dan menunjukkan eksistensinya.
Kerawanan-kerawanan di atas seharusnya tidak perlu terjadi pada Pilkada DKI 2017. Namun, mengingat kepentingan politik yang sangat tinggi, dimungkinkan adanya pihak-pihak yang justru menciptakan kerawanan tersebut yang akan dimanfaatkan sebagai pintu masuk terjadinya ancaman gangguan pada Pilkada DKI 2017.
Dari uraian di atas, penulis menganggap bahwa tingkat kerawanan dalam pilkada DKI 2017 masih pada level menengah (medium). Sehingga perlu kerja keras dai KPU DKI Jakarta, Bawaslu DKI Jakarta, aparat keamanan dan masyarakat sebagai peserta pilkada DKI untuk sama-sama menjaga agar kerawanan tersebut tidak menjadi trigger dari gangguan pilkada DKI 2017.
Risiko
Risiko dihitung dari peluang terjadinya kejadian yang merugikan dan dampak dari kejadian tersebut. Kejadian-kejadian yang merugikan seperti konflik horizontal yang beberapa kali terjadi pasca penghitungan suara dilakukan dilakukan oleh pihak yang tidak menerima hasil pilkada. Dalam pilkada pasti ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Untuk itu perlu diperhitungkan adanya risiko kejadian yang merugikan dalam pilkada DKI 2017 karena pihak yang kalah tidak mau menerima hasil pilkada DKI 2017.
Melihat tensi politik yang cukup tinggi selama ini terutama pada masa kampanye pilkada DKI 2017, maka peluang terjadinya kejadian yang merugikan seperti konflik horizontal dimungkinkan terjadi. Konflik pilkada, terutama jika sudah dibumbui oleh unsur SARA akan berpotensi menjadi konflik horizontal yang melebar dan keluar dari konteks pilkada. Melihat frekuensi kegaduhan yang terjadi selama kampanye Pilkada DKI 2017 maka dapat dinilai bahwa peluang terjadinya kejadian yang merugikan pada Pilkada 2017 nanti terutama adanya konflik horizontal adalah pada level sedang.
Dampak jika terjadi konflik pada pilkada DKI diperkirakan pada level sedang-berat. Hal ini berdasarkan penilaian bahwa saat ini telah terjadi polarisasi kelompok dan golongan pada masyarakat DKI. Polarisasi ini membentuk kubu yang akan saling berhadapan. Keuntungan dari Pilkada DKI adalah diikuti 3 (tiga) pasang calon sehingga polarisasi tidak terlalu ekstrim walaupun fakta yang terjadi pilkada di DKI terlihat dominan pertarungan antara petahana dan kubu bukan petahana.
Dengan tingkat peluang yang sedang dan perkiraan dampak pada level sedang-berat, maka risiko pilkada DKI 2017 dinilai pada level tinggi (dapat dilihat pada matrix risiko). Untuk mencegah kejadian-kejadian yang merugikan pada pilkada DKI 2017 diperlukan langkah-langkah sebagai residual, sehingga risiko yang tinggi tersebut bisa dicegah, atau ditangani dengan baik jika terjadi, dan bisa dipulihkan untuk kembali pada situasi normal.
Pencegahan
Risiko dapat dikelola dengan melakukan langkah-langkah strategis yang terdiri dari 4 tahap (Prunckun:2015), yaitu pencegahan, persiapan, tanggap darurat/response dan pemulihan atau PPRR (Prevention, Preparation, Response, Recovery). Pencegahan dapat dilakukan dengan mengeliminasi komponen ancaman agar tidak terjadi. Komponen ancaman terdiri dari niat, dorongan, pengetahuan dan sumberdaya (Prunckun:2015).
Niat dan dorongan supaya ancaman tidak terjadi dapat dikendalikan jika dalam proses pilkada tersebut pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pilkada mau bersikap ksatria dan menerima apapun hasilnya sebagai konsekuensi sebuah pertarungan. Jika tidak dorongan dari pihak yang kalah, maka seharusnya tidak ada pihak-pihak yang melakukan tindakan merugikan. Niat untuk melakukan tindakan merugikan harus dipupus dengan kesadaran bahwa ada kepentingan yang lebih besar dari hasil pilkada, yaitu persatuan dan kesatuan bangsa. Calon Kepala Daerah peserta Pilkada harus siap dengan hasil pilkada, atau jika tidak puas dengan hasil pikada sebaiknya gunakan cara yang konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi, bukan dengan mendorong simpatisannya untuk bertindak dengan lain.
Pencegahan konflik dapat juga dilakukan oleh aparat keamanan dan intelijen terutama dengan menunjukkan keberadaan dan sikap yang tegas dan netral sehingga pihak-pihak yang berpotensi menjadi sumber ancaman akan berpikir ulang menjalankan aksinya.
Persiapan yang perlu dilakukan untuk menghadapi ancaman setelah pencegahan tidak bisa dilakukan atau diansumsikan bahwa ancaman akan terjadi adalah dengan melakukan dialog dan pendekatan kepada elemen masyarakat. Pendekatan kepada tokoh-tokoh politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan komponen yang lain perlu dilakukan agar tercipta komunikasi dan jejaring yang kuat. Hal ini diperlukan jika ancaman atas pilkada 2017 terjadi maka dapat dilakukan penanganan secara persuasif oleh banyak pihak, sekaligus menghindari polarisasi yang terjadi, antara kelompok masyarakat, atau antara sumber konflik dengan aparat penegak hukum.
Aparat keamanan dan penegak hukum dalam hal ini Polri, tentu tidak perlu diragukan lagi. Polri dipastikan sudah mempersiapkan pasukan dengan perangkatnya untuk menghadapi pesta demokrasi di Jakarta. Namun peran Polri tentu saja tidak akan maksimal jika tidak didukung oleh masyarakat sebagai peserta Pilkada. Untuk itu masyarakat dan Polri perlu bersinergi terutama dalam cegah dini dan deteksi dini atas ancaman.
Jika ancaman atas pilkada seperti konflik horizontal terjadi, maka langkah yang harus dilakukan sebagai suatu respon perlu memperhatikan dampak yang akan terjadi. Langkah–langkah persuasif dan dialog perlu dikedapankan. Namun jika ancaman yang terjadi sudah membahayakan maka tentu saja menjadi kewenangan Polri untuk melakukan tindakan yang terukur dan sesuai prosedur guna mencegah kejadian tersebut meluas atau menimbulkan kerugian lebih banyak.
Ketika ancaman terjadi dan penanganan sudah dilakukan maka hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan pemulihan situasi. Hal ini bahkan perlu dilakukan setelah pilkada nanti, terlepas apapun hasilnya mengingat polarisasi sudah terjadi. Para peserta pilkada sebaiknya berkumpul dan melakukan rekonsiliasi sehingga tercipta situasi yang damai seperti sebelumnya.
Pilkada DKI 2017 mempunyai tingkat risiko yang tinggi, polarisasi sudah terjadi, isu-isu SARA sudah terlihat dimainkan, perlu kerjasama banyak pihak untuk mencegah pilkada DKI 2017 menjadi trigger dari sebuah konflik horizontal. Dengan persiapan yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui aparat keamanan dan penegak hukum, serta harapan kepada peserta pilkada agar mau berbesar hati dan ksatria menerima hasil pilkada nanti, diharapkan situasi pilkada DKI 2017 dapat terjaga. Pilkada DKI 2017 mempunyai risiko yang tinggi, namun prediksi situasi optimis tetap kondusif.
*) Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen dan terorisme, alumnus FMIPA Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.
catatan : tulisan ini dipublikasikan pertama kali di https://news.detik.com/kolom/d-3415829/pilkada-dki-2017-optimis-kondusif-walaupun-risiko-tinggi