Wartasulsel.net,- Diawal tahun 2017 ini Pemerintah Jokowi-JK semakin menampakan diri sebagai Rezim Neoliberal. pertama, secara sederhana Neoliberaisme yang hari ini dapat dilihat sebagai gagasan pembangunan yang biasanya terafirmasi sebagai skema pembangunan, telah di afirmasi oleh hampir seluruh negara bangsa di seluruh dunia.
Model seperti ini telah menjadikan pasar bebas sebagai model kerja sama antar negara-bangsa, yang tercirikan dengan integrasi pasar dan jasa yang tanpa batas pemisah antar negara. dalam kaitannya dengan indonesia pasar bebas sebenarnya telah dijalankan oleh pemerintah-pemetintah sebelumnya dan dilanjutkan dengan sangat baik oleh rezim Jokowi-JK.
Namun kehadiran pemerintah sekarang semakin mengukuhkannya. ketergabungan buta indonesia dalam MEA adalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti yang menyudutkan indonesia dalam pasar bebas. mengapa? karena indonesia tidak dapat dipungkiri menjadi pasar bagi negara-negara lain.
Kedua, yang membuat semakin jelas bahwa wajah Rezim Jokowi-JK ini sangat neoliberalistik adalah ketika semua sektor publik yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak diserahkan kepada swasta dan mekanisme pasar. misalnya disektor kesehatan dikenal dengan BPJS dan disektor pendidikan kita kenal dengan otonomi kampus. tidak sampai disitu, Sektor-sektor strategis yang menurut Pasal 33 UUD 1945 harus dikelola oleh negarapun telah di serahkan sepenuh kepada pihak swasta.
Hasil tambang seperti emas, nikel, uranium tembaga serta hasil minyak dan gas alam yang seharusnya berada dalam tanggung jawab negara dalam hal pengelolaannya untuk kesejahteraan rakyat, tetapi malah diserahkan kepada pihak swasta asing. dan mirisnya pemerintah hari ini sangat baik menjadi penyedia aturan legitimatif bagi eksploitasi MNC asing dan menegenyampingkan
kepentingan publik. ketiga, pemerintah sangat mengandalkan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dengan di topang oleh hutang.
Kerja sama Jakarta-beijing dalam kaitannya dengan pembangunan proyek kereta api dan pembangunan tenagi listrik adalah sebuah bentuk romantisme China dan Indonesia di tangan nahkoda Neoliberal Jokowi-JK. hubungan yang “mesra” inipun di akhir tahun lalu menuai kontroversi karena jumlah tenaga kerja asing ilegal asal china yang sempat menjadi viral di sosmed dan menimbulkan keresahan di tengah-tengah rakyat indonesia, dalam komdisi seperti ini Presiden malah menyuruh tangkap penyebar isu yang menurutnya tidak benar.
Ditambah lagi, adalah juga merupakan watak rezim neoliberalistik adalah selalu membebani rakyat dengan pajak dan pemalakan administrasi guna menopang
Pertumbuhan ekonomi pemerintah dan ddfisit APBN. pemerintah bahkan telah mengeluarkan UU Tax amnesty dengan capaian pendapatan pajak 70-100 triliun dan melupakan kandungan sumberdaya alam kita yang harusnya dikeololah oleh negara dengan perangkat BUMN.
Ketika pengampunan pajak yang menjadi solusi dengan kalkulasi 70-100 triliun rupiah kemudian tidak solutif untuk menopang birahi pertumbuhan ekonomi dan defisit APBN yang memang menjadi penyakit bawaan bagi negara penganut skema pembangunan neoliberalisme, pemerintah akhirnya lagi-lagi memaksa rakyat indonesia untuk menambah uang biaya administrasi pelayanan publik dalam pengurusan surat kendaraan bermotor untuk roda dua dan roda empat seperti amanat PP NO. 60 2016. tak hanya itu, rupa-rupanya kenaikan harga BBM dan tarif listrik juga sangat menyengsarakan rakyat kecil.
Kebijakan pemerintah Jokowi-JK menaikan harga BBM dan tarif pelayanan pengurusan kendaraan roda dua dan roda empat hingga listrik di awal tahun ini akan berpengaruh pada daya beli masyarakat. boleh jadi pilihan-pilihan kebijakan ekonomi yang berlawanan dengan konstitusi dan harapan rakyat setidaknya dapat terkanalisasi menjadi dua masalah baru, pertama ketidakpuasan publik yang akan tersimbolisasi melalui gerakan Mahasiswa- rakyat dan juga dapat berpotensi menimbulkan krisis seperti di tahun 1998 yang lalu.
Redaksi wartasulsel.net