JakaRTA. Lembaga Survei Indonesia (LSI) tanggal 18 April 2021 mengeluarkan rilis hasil survei yang berjudul “Tantangan Reformasi Birokrasi: Persepsi Korupsi, Demokrasi, dan Intoleransi di Kalangan PNS”. Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei dengan populasi PNS yang tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga, di pusat maupun daerah. Sebanyak 1,201 PNS menjadi responden survei yang diwawancarai pada 3 Januari hingga 31 Maret 2021. Sebanyak 1.000 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut, dilakukan oversample sebanyak 200 responden yang tersebar di beberapa Kementerian/Lembaga, sehingga total sample yang direncanakan sebanyak 1.200 responden.
Dalam survei ini, para PNS yang menjadi responden ditanyakan tentang persepsi dan penilaian mereka terhadap korupsi dan potensi korupsi, suap/gratifikasi, upaya pengawasan internal, dan pengaduan. Selain itu, PNS juga ditanyakan tentang pandangan mereka tentang isu-isu demokrasi, intoleransi, dan pelayanan publik yang non-diskriminatif.
Disebutkan oleh LSI bahwa tujuan survei adalah untuk memperoleh gambaran tentang persepsi dan pengetahuan PNS secara umum tentang poin penting dalam Reformasi Birokrasi. Meskipun, tidak semua poin dalam Road Map Reformasi Birokrasi ditanyakan karena terlalu luas untuk dicakup dalam satu survei. Selain itu hasil survei diharapkan dapat memberi masukan pada pengambil kebijakan tentang pemberantasan korupsi dan upaya Reformasi Birokrasi, serta demokrasi, khususnya di kalangan PNS.
Terkait masalah korupsi, sekitar 34.6% menjawab tingkat korupsi di Indonesia saat ini meningkat, sementara 33.9% menyatakan tidak ada perubahan, dan 25.4% menurun. Dibandingkan survey dengan populasi masyarakat, pemuka opini, dan pelaku bisnis, persepsi korupsi menurut ASN adalah yang paling positif karena cukup banyak yang menilai korupsi menurun. Bentuk penyalahgunaan korupsi yang paling banyak terjadi di instansi pemerintah ialah menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi (26.2%), kemudian kerugian keuangan negara (22.8%), gratifikasi (19.9%), menerima suap (14.8%), sementara lainnya kurang dari 5%. Bagian pengadaan dinilai paling banyak terjadi kegiatan koruptif, 47.2%, selanjutnya di bagian perizinan usaha 16%, keuangan 10.4%, pelayanan 9.3%, dan personalia 4.4%, dan lainnya 1%. Sekitar 11.6% tidak menjawab.
Mayoritas menilai jarang/sangat jarang, 76.1%, PNS menerima uang atau hadiah di luar ketentuan resmi dari suatu pihak (pebisnis, masyarakat umum, sesama PNS). Sekitar 9.3% menilai sering/sangat sering. Sedangkan 14.6% tidak menjawab. Dibandingkan dengan Survei Bisnis pada pertanyaan sejenis, jumlah yang menjawab jarang/sangat jarang di kalangan PNS ini sedikit lebih rendah. Faktor yang mempengaruhi PNS menerima uang/hadiah di luar ketentuan paling besar adalah kurangnya pengawasan, kemudian kedekatan PNS dengan pihak yang memberi uang, ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa. Faktor-faktor lain yang dinilai lebih sedikit adalah karena gaji rendah, budaya, mendapat uang tambahan, tidak ada ketentuan yang jelas, jarang ada hukuman jika ketahuan, pelaku tidak paham, didukung atasan, persepsi hak PNS, dan takut dikucilkan
Empat praktik koruptif tersebut dinilai sedikit/sangat sedikit terjadi antara PNS dengan suatu pihak. Di antara keempatnya, yang lebih banyak dinilai terjadi adalah PNS menerima uang untuk melancarkan urusan suatu pihak, kemudian PNS didekati secara personal untuk sewaktuwaktu diminta bantuan, PNS menerima barang untuk melancarkan urusan, dan PNS menerima layanan pribadi. Namun, PNS mengakui bahwa praktik tersebut banyak terjadi lebih banyak dibandingkan pebisnis yang mengakui adanya pebisnis yang melakukan hal tersebut. Terdapat 25.5% PNS yang sangat/cukup tahu adanya kemungkinan korupsi di instansinya. Mayoritas, 69.6%, kurang tahu/sama sekali tidak tahu. PNS dari Golongan yang lebih tinggi lebih punya pengetahuan tentang potensi korupsi di instansi.
Terkait dengan gratifikasi, terdapat sekitar 3.5% yang pernah menyaksikan sendiri, sementara 14.6% menyatakan tidak pernah menyaksikan sendiri tapi ada orang yang dikenal secara pribadi pernah menyaksikannya. Namun mayoritas menyatakan dirinya dan rekan yang dikenalnya tidak pernah menyaksikan, 77.9%. Sementara pada survei Opini Publik, mereka yang menyaksikan sendiri maupun memiliki kenalan yang menyaksikan lebih banyak. Mayoritas menilai tidak wajar, 89%, memberikan sesuatu seperti: uang, barang, hiburan, hadiah di luar persyaratan/ketentuan untuk memperlancar suatu proses atau sebagai bentuk terima kasih ketika berhubungan dengan instansi pemerintah.
Terkait dengan pengawasan internal, ditemukan hasil bahwa mayoritas, 93.1%, tahu unit pengawasan internal di setiap instansi pemerintah. Mayoritas, 97.1%, tahu peran Inspektorat Jenderal/Inspektorat Daerah. Dari yang tahu, mayoritas 70.4% menilai sangat/cukup besar kemungkinan untuk melapor pada Inspektorat Jenderal/Inspektorat Daerah di instansi jika mengetahui adanya penyalahgunaan wewenang atau jabatan. Namun sekitar 23.8% mengaku cukup/sangat kecil kemungkinan melapor. Di antara yang cukup/sangat kecil kemungkinan melapor, kebanyakan karena takut mendapat masalah, karena belum pernah melapor, proses melapor berbelit-belit, tidak akan ditindaklanjuti, dan tidak memiliki kewenangan melapor.
Mayoritas, 73.1%, tahu tentang Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dan dari yang tahu mayoritas 92.1% sangat/cukup percaya dengan hasil audit yang dikeluarkan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Sekitar 1.9% menjawab kurang bisa dipercaya. Mayoritas, 61%, tahu Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), dan dari yang tahu mayoritas juga tahu, 78.6%, ada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di instansinya. Mayoritas, 73.1%, tahu tentang Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dan dari yang tahu mayoritas 92.1% sangat/cukup percaya dengan hasil audit yang dikeluarkan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Sekitar 1.9% menjawab kurang bisa dipercaya. Mayoritas, 61%, tahu Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), dan dari yang tahu mayoritas juga tahu, 78.6%, ada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di instansinya.
Terkait dengan sistem pengaduan LAPOR, ditemukan hasil bahwa mayoritas, 59.2%, tahu LAPOR!. Cukup banyak yang tidak tahu, 39.6%. Mayoritas, 57.3%, tahu Whistleblower System. Namun, sekitar 41.8% tidak tahu. Dibandingkan publik secara umum, PNS lebih punya pengetahuan tentang LAPOR! Dan Whistleblower System. Semakin tinggi pendidikan PNS, semakin tahu tentang LAPOR! dan Whistleblower System.
Terkait dengan Demokrasi Pelayanan Publik dan Intoleransi, diketahui hasil survei adalah mayoritas responden cukup/sangat setuju bahwa demokrasi meski tidak sempurna adalah bentuk pemerintahan terbaik untuk Indonesia (82.6%). Namun, mayoritas 52.9% cukup/sangat setuju memilih pembangunan ekonomi jika harus memilih antara demokrasi dan ekonomi. Mayoritas tidak setuju jika pemerintah memprioritaskan Islam dan adanya penerapan hukum Islam di tingkat lokal. Namun, cukup banyak yang netral atau cenderung setuju. Sedangkan tentang pengaruh pemimpin Islam dalam kehidupan politik, mayoritas netral/cenderung setuju.
Mayoritas responden tidak keberatan jika orang yang berbeda agama menjadi kepala bagian/divisi, atau menjadi pimpinan K/L/Perangkat Daerah. Mayoritas,92.5%, kurang setuju/sangat tidak setuju dengan pendapat “bahwa wajar jika PNS mendahulukan memberi pelayanan kepada warga yang seagama dengannya”. Mayoritas responden muslim tidak keberatan jika non-muslim menjadi gubernur, bupati/walikota, membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya, atau mengadakan kebaktian di sekitar tempat tinggal. Namun cukup banyak yang keberatan, terutama nonmuslim menjadi gubernur, menjadi bupati/walikota, dan mendirikan tempat ibadah di sekitar tempat tinggal.
Terkait dengan Persepsi Korupsi dan Potensi Korupsi, PNS yang menjadi responden survei terbelah antara yang menilai bahwa tingkat korupsi meningkat dan tidak ada perubahan. Akan tetapi, cukup banyak yang menilai bahwa tingkat korupsi dalam dua tahun terakhir menurun. Persepsi korupsi ini yang paling positif jika dibandingkan dengan survei dengan responden masyarakat umum, pemuka opini, dan pelaku bisnis. Pada survei-survei tersebut, mayoritas menilai bahwa tingkat korupsi meningkat dalam dua tahun terakhir.
Potensi korupsi masih kuat. Saat ini, menurut responden bentuk penyalahgunaan korup yang paling banyak terjadi di instansi pemerintah ialah menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi, kemudian kerugian keuangan negara, gratifikasi, dan menerima suap.
Kurangnya pengawasan, kemudian kedekatan PNS dengan pihak yang memberi uang, dan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa adalah faktor-faktor yang banyak mempengaruhi PNS menerima uang/hadiah di luar ketentuan paling besar adalah. Faktor- faktor lain juga berpengaruh meski lebih sedikit yaitu karena gaji rendah, budaya, mendapat uang tambahan, tidak ada ketentuan yang jelas, jarang ada hukuman jika ketahuan, pelaku tidak paham, didukung atasan, persepsi hak PNS, dan takut dikucilkan.
Empat praktik koruptif dinilai sedikit/sangat sedikit terjadi antara PNS dengan suatu pihak. Di antara keempatnya, yang lebih banyak dinilai terjadi adalah PNS menerima uang untuk melancarkan urusan suatu pihak, kemudian PNS didekati secara personal untuk sewaktu-waktu diminta bantuan, PNS menerima barang untuk melancarkan urusan, dan PNS menerima layanan pribadi.
Terkait dengan Sikap dan Pengalaman dalam Situasi Koruptif, alam hal pengalaman dalam situasi koruptif, terdapat sekitar 3.5% yang pernah menyaksikan sendiri PNS menerima uang/hadiah di luar ketentuan. Sementara 14.6% menyatakan tidak pernah menyaksikan sendiri tapi ada orang yang dikenal secara pribadi pernah menyaksikannya. Namun, mayoritas menyatakan dirinya dan rekan yang dikenalnya tidak pernah menyaksikan, 77.9%. Dibandingkan survei opini publik, angka yang menyaksikan dan kenal orang yang menyaksikan hal tersebut tampak lebih rendah pada PNS.
Dalam hal sikap, mayoritas menilai bahwa suap/gratifikasi adalah hal yang tidak wajar. Saat ini, mayoritas PNS tidak tahu adanya kemungkinan korupsi di instansi masingmasing, namun cukup banyak yang tahu.
Terkait dengan Pengawasan Internal, Pengawasan internal sangat diperlukan untuk mencegah dan menangani korupsi. Saat ini, mayoritas PNS yang menjadi responden tahu tentang unit pengawasan internal di instansi mereka. Mereka juga tahu tentang peran Inspektorat Jendral/Daerah dan berintensi melapor jika menemukan penyalahgunaan wewenang/jabatan. Meski demikian, cukup banyak yang kurang mau melapor karena berbagai sebab. Di antaranya takut mendapat masalah, karena belum pernah melapor, proses melapor berbelit-belit, tidak akan ditindaklanjuti, dan tidak memiliki kewenangan melapor. Saat ini, mayoritas juga tahu tentang Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan percaya dengan hasil audit dari APIP. Mayoritas juga mengetahui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dan keberadaan UPG di instansi mereka.
Terkait dengan Pengaduan oleh Masyarakat, berbeda dengan pengawasan internal, pengetahuan tentang mekanisme pengaduan dari masyarakat di kalangan PNS lebih sedikit. Cukup banyak yang tidak tahu LAPOR! Meski yang tahu masih mayoritas. Demikian pula program Whistleblower System, masih sekitar 41.8% yang tidak tahu program pengaduan ini. Padahal di antara yang tahu kedua sistem pengaduan tersebut, mayorita menilai bahwa keduanya sangat/cukup efektif mengawasi kinerja PNS atau menekan korupsi. Namun demikian, dibandingkan publik secara umum, PNS lebih banyak yang tahu kedua mekanisme pengaduan online tersebut.
Terkait dengan Persepsi atas Demokrasi dan Intoleransi, mayoritas responden cukup/sangat setuju bahwa demokrasi meski tidak sempurna adalah bentuk pemerintahan terbaik untuk Indonesia. Namun, mayoritas cukup/sangat setuju memilih pembangunan ekonomi jika harus memilih antara demokrasi dan ekonomi. Mayoritas tidak setuju jika pemerintah memprioritaskan Islam dan adanya penerapan hukum Islam di tingkat lokal. Namun, cukup banyak yang netral atau cenderung setuju. Sedangkan tentang pengaruh pemimpin Islam dalam kehidupan politik, mayoritas responden bersikap netral/cenderung setuju. Mayoritas responden tidak keberatan jika orang yang berbeda agama menjadi kepala bagian/divisi, atau menjadi pimpinan K/L/Perangkat Daerah. Mayoritas PNS kurang setuju/sangat tidak setuju dengan pendapat “bahwa wajar jika PNS mendahulukan memberi pelayanan kepada warga yang seagama dengannya”. Mayoritas responden muslim tidak keberatan jika non-muslim menjadi gubernur, bupati/walikota, membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya, atau mengadakan kebaktian di sekitar tempat tinggal. Namun cukup banyak yang keberatan, terutama non-muslim menjadi gubernur, menjadi bupati/walikota, dan mendirikan tempat ibadah di sekitar tempat tinggal.
Kesimpulan
Temuan survei ini menunjukkan bahwa upaya-upaya reformasi birokrasi secara internal di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah sudah diketahui dengan baik oleh PNS yang seharihari menjalankan tugas di sana.
Meski upaya-upaya untuk mencegah korupsi tersebut sudah berjalan, namun persepsi korupsi masih terbelah saat ini, antara yang menilainya meningkat dan tidak ada perubahan. Potensi korupsi juga masih tinggi terutama dalam hal penyalahgunaan wewenang, kerugian uang negara, gratifikasi, dan suap.
Kurangnya pengawasan, kemudian kedekatan PNS dengan pihak yang memberi uang, dan adanya campur tangan politik dari yang lebih berkuasa merupakan pendorong terjadinya korupsi di instansi pemerintah.
Hal ini penting untuk menjadi perhatian para pengambil kebijakan dalam mencegah dan memberantas korupsi. Meski sudah ada mekanisme pengawasan internal, namun perlu diketahui hambatan yang dirasakan untuk melapor. Dalam survei ini terungkap bahwa kebanyakan hambatan melapor karena PNS takut mendapat masalah, karena belum pernah melapor, proses melapor berbelit-belit, laporan tidak akan ditindaklanjuti, dan PNS merasa tidak memiliki kewenangan melapor.
Selain itu, mekanisme pengaduan oleh masyarakat juga harus ditingkatkan penggunaanya. Saat ini masih cukup banyak yang tidak tahu tentang dua mekanisme pengaduan yakni LAPOR! dan Whistleblower System. Padahal, mereka yang tahu menilai bahwa mechanism ini juga akan efektif menekan korupsi.
Ke depan, jika hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dan pengaduan masyarakat ditingkatkan, diharapkan tingkat korupsi dapat menurun. Dalam hal demokrasi, temuan survei menunjukkan bahwa PNS saat masih mendukung demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik.
Mayoritas juga setuju dengan prinsip demokrasi khususnya yang terkait dengan tugas mereka sebagai abdi negara untuk tidak membedakan agama dalam memberi pelayanan dan sebagai pimpinan instansi. Akan tetapi, masih cukup banyak PNS yang setuju untuk mengesampingkan demokrasi demi ekonomi. Selain itu, cukup banyak pula yang masih abu-abu/netral atau setuju bahwa pemerintah harus memprioritaskan Islam sebagai mayoritas. Mayoritas juga masih netral dan setuju dengan peningkatan pengaruh pemimpin Islam dalam politik.
Di kalangan PNS muslim, intoleransi lebih sedikit dibandingkan yang toleran. Intoleransi cukup banyak terutama dalam hal non-muslim menjadi gubernur, menjadi bupati/walikota, dan mendirikan tempat ibadah di sekitar tempat tinggal.
Temuan ini menunjukkan bahwa masih perlu upaya untuk meningkatkan pemahaman akan demokrasi di kalangan PNS, khususnya dalam identitas mereka sebagai abdi negara yang tetap harus mengedepankan kesetaraan, toleransi, sikap dan tingkah laku non-diskriminatif.
Selain itu, perlu diketahui permasalahan apa yang membuat PNS masih ragu atau tidak demokratis dalam persoalan yang terkait keagamaan. Dengan diketahuinya permasalahan sesungguhnya, maka pemerintah akan dapat mengambil langkah yang kongkret untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip demokrasi di kalangan PNS, khususnya prinsip kesetaraan, akuntabilitas, dan toleransi antaragama.
Rekomendasinya adalah menjadikan hasil survei ini sebagai dasar kegiatan untuk pengawasan dan pemantauan terhadap aparatur terutama terkait masalah korupsi, demokrati dan intoleran.
Disamping itu, menjadikan hasil survei ini sebagai salah satu data untuk dukungan kerja sama dengan stake holder terkait dan instansi lainnya dalam pencegahan kasus korupsi, praktek demokrasi dan intoleran di kalangan PNS (Red/dari berbagai sumber).