G O L P U T

Opini155 views

Oleh Noorca M. Massardi

Wartasulsel.net,- Pemilihan Presiden 21 April adalah pilpres paling bersejarah di Republik Perancis. Untuk pertama kali sejak berlakunya konsitusi Republik V dengan UUD 1958, Jean-Marie Le Pen (74), kandidat dari partai ekstrem kanan Front National (FN), lolos ke putaran kedua dengan perolehan suara 17 persen. Sementara presiden petahana Jacques Chirac (69 tahun) dari golongan kanan konservatif, yang baru menyelesaikan mandatnya yang tujuh tahun, pada 21 April 2002, hanya meraih 20 persen suara. Sedangkan belasan kandidat presiden lainnya rontok karena perolehan suara mereka terpecah-pecah di bawah satu digit.

Daeng Manye

Bencana pun membayang di langit Perancis. Le Pen yang sejak 1974, dengan Front National (FN) – nya mempropagandakan kebijakan fascistis antiimigran, ultranasionalis, dan memuja ras murni Perancis, dianggap sebagai ancaman besar bagi dasar negara demokratis dan sekular, serta sangat membahayakan pilar dan nilai-nilai Republik.

Tak pernah ada yang membayangkan sebelumnya, tidak juga survei dan polling, yang memprediksi bahwa kandidat ekstrem kanan bisa sampai ke putaran kedua. Sebelumnya, yang diprediksi akan tampil di putaran final adalah Jacques Chirac melawan mantan Perdana Menteri Lionel Jospin, kandidat dari Partai Sosialis (PS).

Melihat dan menyadari adanya bahaya luar biasa dan gawatnya ancaman terhadap eksistensi Negara, seluruh rakyat Perancis pun dibangunkan dan disadarkan dari tidurnya. Maka, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Perancis modern, seluruh golongan, partai politik, organisasi massa, media massa, dari ekstrem kiri, sosialis dan komunis, sampai golongan tengah, dan kanan konservatif, bersatupadu melawan ancaman fascistis Le Pen dan FN. Dalam tempo dua pekan sebelum pilpres putaran kedua, setiap hari, lebih dari satu juta orang turun ke jalan di pelbagai kota besar. Walau mayoritas sesungguhnya tidak menyukai kepresidenan (kembali) Chirac, namun demi menyelamatkan Republik, mereka menyatakan “Lebih baik memilih yang buruk ketimbang memilih Fascist!”

Hasilnya? Pada pilpres Putaran II, 5 Mei 2002, Jacque Chirac terpilih kembali sebagai presiden untuk periode lima tahun, dengan meraih total suara 82 persen, terbesar sepanjang sejarah Republik V (1958-2002)! Meskipun perolehan suara untuk Le Pen nyaris tidak tergoyahkan, tetap 17 persen! Dan, saat itu hampir tidak ada golongan putih (golput) atau blanc-votes!

***

Destruktifnya kampanye menjelang pilpres Indonesia 17 April 2019, yang menghalalkan segala cara yang keji dan bengis, dengan menyebarkan aneka hoax, fitnah, dan dusta untuk mengalahkan kandidat populer presiden petahana Joko Widodo, telah dirasakan sangat meresahkan dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mencederai asas Bhinneka Tunggal Ika, serta membahayakan ideologi Pancasila. Pelbagai kekuatan, partai politik, organisasi massa, dan golongan serta komunitas pun bangkit. Mereka berusaha meyakinkan publik akan ancaman nyata dari kelompok radikal, ekstremis, yang bila sampai berkuasa akan dapat mengobarkan intoleransi, menghidupkan kembali rezim otoritarian yang korup dan fascistis Orde Baru, serta mengembalikan praktek-praktek kekerasan dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas dan oposisi.

Namun, tak seperti rakyat Perancis menjelang Pilpres Putaran kedua, 5 Mei 2002, yang segera terbangun dan menyadari adanya bahaya yang akan menyerang fondasi negara demokrasi dan republik, sebagian kelompok masyarakat terdidik di Indonesia, yang masih belum terbukakan pintu hatinya dan kesadaran jiwa serta akal sehatnya, tampaknya masih ada yang ingin tetap mempertahankan pilihan “romantik dan heroik” sebagai golongan putih alias golput.

Pelbagai alasan dan pembelaan pun mereka lontarkan, baik di dalam kelompok maupun ke hadapan publik. Sejatinya, pilihan golput yang dipopulerkan Arief Budiman dkk ketika rezim otoritarian Soeharto-Orde Baru berkuasa (1968-1998), memang merupakan pilihan heroik sebagai protes pada masa itu. Namun, masih tetap bersikap golput ketika demokrasi dan pemilihan langsung diperkenalkan di Indonesia sesudah Reformasi 1998, sesungguhnya tak memiliki “raison-d’etre” lagi, tak memiliki landasan hidup dan moral lagi. Apalagi menjelang Pilpres 17 April 2019 yang hanya satu putaran dan hasilnya akan berakhir final dan mengikat itu.

Aneka survei dan polling memang masih memprediksi, selisih tingkat elektabilitas petahana Jokowi-Maruf lebih unggul dalam kisaran 10-15 persen dibanding lawannya, kendati yang belum menentukan pilihan atau kemungkinan golput juga jumlahnya sekitar itu.

Toh, bila yang berniat golput sama sekali membuta-tulikan mata-hatinya dari fenomena kampanye hitam yang destruktif dan penuh hoax serta fitnah, serta menganggap sepi ancaman radikalisme-ekstremisme-intoleransi-fascisme Orde Baru, memang sulit diterima akal sehat. Menganggap bahwa saat ini, di tengah kampanye pilpres semacam ini, kondisi Republik Indonesia adalah baik-baik saja, aman tenteram tidak kurang suatu apa, dan ancaman disintegrasi hanya impian di tengah hari dari para politisi yang ingin tetap berkuasa, sungguh sangat naif.

Alasan golput adalah lebih baik ketimbang ikut memilih lawan yang fascistis dan destruktif, bukanlah pilihan heroik melainkan sekadar romantik-anakronik. Alasan golput karena menilai tidak ada politisi yang baik, tidak ada yang mau dan mampu memenuhi janjinya, tidak ada yang tidak korup dan nepotis, tidak ada yang ikhlas mementingkan kebutuhan rakyat, adalah alasan yang juga ilusif dan bertentangan dengan akal sehat. Mengapa? Karena dengan tidak ikut memilih, maka para golputis justru akan secara bongkokan menyerahkan dan membiarkan nasib negara dan bangsa ini jatuh kepada fatalisme : membiarkan negeri ini dikuasai oleh orang-orang atau kelompok yang justru mereka benci. Bunuh diri? Mungkin.

Dan, bila itu yang terjadi, maka jangan salahkan para pihak yang sudah mengingatkan akan adanya bahaya terhadap sendi-sendi dan pilar-pilar demokrasi dan republik (NKRI, Panca Sila, Bhinneka Tunggal Ika). Jangan katakan: “Ini salah kalian! Kalian tidak cukup meyakinkan saya untuk memilih! Kalian tidak sungguh-sungguh menyadarkan saya akan bahaya disintegrasi dan fascisme! Kalau tahu akan begini, saya tidak akan golput waktu itu!”

Namun, waktu tidak bisa diputar mundur. Kiamat sudah terjadi. Sungguh, kalian termasuk orang-orang yang merugi, yang tidak belajar kepada azab yang dialami umat yang terdahulu…! Sebagaimana penderitaan umat Amerika Serikat ketika terbutakan pintu-hati mereka dengan memilih presiden terakhirnya…! Sesal kemudian tiada berguna…!

(Noorca M. Massardi)

Jakarta, 22 Maret 2019