Oleh : Dedi Syaifullah Kurniadi Jamil *)
Wartasulsel.net,- Kubu Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno sama-sama berambisi untuk memenangkan “tarung politik” pada Pilpres 2019 dengan menyusun sejumlah strategi dan taktik politik termasuk melakukan psy war dan berbagai macam “perang propaganda” yang sangat jelas terbaca dalam pemberitaan berbagai media massa. Padahal sejatinya, siapapun yang memenangkan Pilpres 2019 akan mendapatkan tugas maha berat yang sudah menantinya.
Kemampuan kepemimpinan, pengalaman, kesabaran menghadapi kritik, kecerdasan mengikuti ketidakpastian global dan regional ke depan serta mempunyai akseptabilitas politik yang cukup besar dan meluas akan menjadi prasyarat “tidak resmi” bagi Presiden Indonesia periode 2019-2024.
Indikator dari akseptabilitas politik yang kuat adalah kemenangan dalam Pilpres harus diperoleh secara mutlak atau majority decision seperti setidaknya 65% : 35% untuk menghindari gangguan “oposisi” atau jika hal ini tidak tercapai, maka “politik dagang sapi” kembali akan dipraktekkan untuk menjaga kelanggengan kekuasaan.
Ada beberapa tugas yang akan dihadapi oleh Presiden Indonesia 5 tahun ke depan antara lain : pelemahan nilai tukar rupiah kemungkinan terus berlanjut karena Trump belum ada niat untuk mencapai kesepakatan dagang atau menghentikan perang dagang dengan China, bahkan beberapa negara lainnya juga akan diajak perang dagang oleh Trump seperti Jepang dan India; Ancaman terorisme dan separatisme di ranah global dan nasional yang membutuhkan kerjasama antar bangsa semakin aktif dilakukan.
Di level yang menyangkut “hajat hidup orang banyak” ada sejumlah masalah yang akan dihadapi pemenang Pilpres 2019 antara lain masalah pemberantasan kebodohan dan kemiskinan, menciptakan lapangan pekerjaan dan keamanan insani bagi masyarakat Indonesia.
Namun, hal ini tidak mudah diwujudkan buktinya menurut Koalisi Barisan Guru Bersatu/Kobar- GB Aceh Utara, dana Sertifikasi Guru tahun 2015 sebesar Rp 9,4 Milyar sampai saat ini belum dibayarkan, termasuk beberapa honor termasuk renumerasi ASN yang konon kabarnya dibanyak K/L dan daerah juga mengalami “ketersedatan” pembiayaan, walaupun sudah jelas akan dibayarkan oleh pemerintah.
Sementara itu, persoalan yang menyangkut masyarakat luas membutuhkan perhatian dan kebijakan kepala negara adalah adanya data dan fakta bahwa desa yang masih gelap, belum tersentuh penerangan listrik, ada di 2.519 desa atau 293.532 rumah yang masih gelap gulita di Indonesia.
Pemerintah akan memanfaatkan tenaga surya, solar home system (SHS) untuk menerangi desa-desa tersebut. “Janji-janji” seperti ini perlu segera direalisasikan, agar tidak menurunkan elektabilitas pasangan calon yang maju dalam Pilpres 2019.
Berbagai kendala “keuangan” yang terjadi saat ini juga disebabkan banyak faktor, walaupun sebenarnya berdasarkan analisa makro ekonomi saat ini, Indonesia masih memiliki rating yang cukup baik. Cadangan devisa Indonesia sebesar USD 118.3 miliar atau mencapai lima kali lipat lebih baik dari tahun 1998 yang hanya mencapai USD 23.61 miliar.
Hal ini juga diperkuat dengan pertumbuhan ekonomi kita yang masih positif, yakni mencapai angka 5.27%. Berbeda jauh pada saat terjadi krisis 1998 kala itu, di mana angka pertumbuhan ekonomi kita minus 13%. Saat ini, perekonomian Indonesia masih dapat dikatakan sehat. Peringkat surat utang Pemerintah pada level Investment Grade, yang artinya masih layak sebagai tempat berinvestasi merupakan salah satu indikator kesehatan perekonomian Indonesia saat ini.
Di samping itu, Pemerintah juga masih mampu menahan inflasi nasional di angka 3%, jauh dari kata krisis yang pernah membawa Indonesia ke jurang krisis moneter terburuk pada tahun 1998 yang mencapai angka 70%. Ketergantungan kita terhadap produk impor merupakan penyumbang terbesar terdepresiasinya mata uang rupiah terhadap Dollar AS. Kebutuhan Dollar AS untuk transaksi perdagangan internasional sangatlah tinggi, akan tetapi lebih banyak Dollar AS yang keluar daripada masuk. Tingginya angka impor membuat pergerakan rupiah akan mudah terkoreksi bila The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) mengkoreksi suku bunganya. Walaupun The Fed menaikkan suku bunga, namun jika kekuatan internal Indonesia masih kuat untuk berinvestasi dengan kuatnya fundamental perekonomian kita, maka tidak akan terlalu mengganggu nilai tukar rupiah.
Dengan berkurangnya angka impor, maka secara langsung menahan dollar untuk keluar. Meskipun begitu, kita harus tetap waspada karena hilangnya Dollar terhadap rupiah tidak serta merta hanya disebabkan oleh tingginya angka impor, melainkan juga adanya penimbun Dollar yang masih menahan Dollar sebagai spekulasi yang berujung pada kelangkaan Dollar.
Masalah lainnya adalah ancaman separatisme Papua, dimana pada tanggal 4 November Kaledonia Baru akan menggelar referendum untuk menentukan kemerdekaan dari Perancis. Etnis Kanak yang mendominasi kepulauan di timur Australia itu kini mendapat dukungan kemerdekaan dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Menurut Victor Yeimo, Presiden KNPB, bangsa Papua Barat akan mendukung jika kalian memilih merdeka, agar kalian bisa menjadi sebuah bangsa, bangsa yang bebas dan berdaulat.
Yeimo memuji langkah Perancis mengizinkan referendum kemerdekaan buat Kaledonia Baru, sesuatu yang bertolakbelakang dengan situasi di Indonesia. “Di Indonesia kami tidak bisa melakukannya, karena kolonialisme Indonesia berbeda dengan kolonialisme Eropa, seakan mereka tidak memiliki demokrasi, ujarnya. Bagaimanapun juga, dukungan KNPB kepada kemerdekaan Kaledonia Baru adalah salah satu strategi mereka untuk menginternasionalisasi dan menumbuhkan dukungan terhadap kemerdekaan Papua. Kaledonia Baru diprediksi akan menyuarakan kemerdekaan Papua di PBB jika berhasil memerdekakan diri, sebagai balas budi atas manuver KNPB tersebut.
Jalan terjal memenangkan Pilpres 2019 untuk dapat memenangkan Pilpres 2019, maka soliditas, militansi, kerjasama dan kecerdasan dalam bermanuver ataupun mengemukakan atau menciptakan opini publik di media massa haruslah dilakukan secara benar, jitu dan strategis, agar tidak menghasilkan blunder-blunder politik yang malah menguntungkan pihak lawan.
Parpol pendukung koalisi juga harus mampu memobilisasi dukungan massa atau grassrootsnya untuk tetap setia mengikuti dan menindaklanjuti keputusan politik yang telah dikeluarkan, karena bisa jadi keputusan politik elit Parpol tidak diikuti oleh suara basis massanya di TPS-TPS nantinya, sehingga belum tentu Paslon yang didukung Parpol yang banyak akan lantas memenangkan Pilpres 2019, apalagi jika Parpol pendukungnya tersebut tidak solid basis massanya ataupun Parpol tersebut sedang mengalami konflik internal atau ada beberapa fungsionaris Parpol yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh aparat penegak hukum, seperti yang dialami anggota legislatif salah satu Parpol di Kota Mataram yang “menilep” dana bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang terdampak bencana gempa bumi Lombok, walaupun Ybs sudah dipecat oleh Parpolnya.
Diakui atau tidak diakui, manuver Kelompok relawan Indonesia Muda menyatakan dukungan mereka kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. “Para pendiri dan pengurus Indonesia Muda berasal dari aktifis Pro Demokrasi lintas generasi, eks relawan, dan anggota rumah transisi Jokowi JK 2014, di antaranya Guntur Siregar, (Sekjen Projo) Ucok Syafti Hidayat (Pendiri Bara JP), Febby Lintang (Jaringan Alumni Lintas Perguruan Tinggi), Dadan Hamdani (deklarator Jokower), Agung Nugroho (Fordisi), Amirullah Hidayat (Relawan Matari Indonesia), Moestaqim Dahlan (aktivis Walhi), Azman Moe (social engineer), Muhammad Tahir (Jaringan Nelayan), dan berbagai elemen pemuda dan mahasiswa,” kata Ketua Indonesia Muda Lutfi Nasution dalam keterangannya, Jumat (14/9/2018).
Deklarasi dukungan itu disampaikan kepada Sandiaga di Posko Relawan M16, Jalan Melawai, Jakarta Selatan. Eks Sekjen Projo juga menyampaikan alasannya tak lagi mendukung Jokowi.
Disamping itu, ada beberapa pendapat atau statemen yang dikeluarkan kedua kubu yang akan bertarung di Pilpres malah cenderung memanaskan situasi politik dan tidak sejalan dengan himbauan atau ajakan Presiden Jokowi agar Pilpres 2019 jangan sampai memecah persatuan bangsa. Adanya pendapat salah satu legislator dari Parpol pendukung Jokowi yang menyatakan, aksi ribuan mahasiswa menuntut Presiden Joko Widodo mundur di beberapa kota Indonesia akhir ini dinilai menguntungkan pihak oposisi. Menurutnya, mahasiswa harus bisa menjelaskan tolak ukur tuntutan mereka, karena mirip dengan nada isu yang dilempar pihak oposisi. Pendapat ini jelas akan memanaskan suasana, karena esensinya mahasiswa di daerah mulai turun ke jalan untuk menyuarakan kegelisahan atas perekonomian tanah air yang sedang merosot.
Blunder lainnya adalah dengan salah satu Cawapres yang mengemukakan kalau pihaknya memenangkan Pilpres 2019, maka untuk meniadakan konflik ideologi di Indonesia, maka akan diterapkan “Islam Nusantara”. Konsep “Islam Nusantara” ini masih menimbulkan pro dan kontra, karena dalam ajaran Islam ataupun mahzab Islam manapun juga tidak dikenal dengan konsep “Islam Nusantara”, sehingga dikhawatirkan pendapat seperti ini akan merugikan elektabilitas Cawapres bersama pasangannya di Pilpres 2019.
Ternyata banyak jalan terjal yang dapat merontokkan kemenangan di Pilpres 2019, sehingga berprinsip “lebih baik diam daripada berkata namun menimbulkan konflik” patut diperhatikan kedua kubu, selain tetap mempromosikan gagasan-gagasan cerdasnya dalam meraih simpati pemilih dan menjauhkan niat untuk menggunakan cara-cara “low politics”. Semoga.
*Penulis adalah pemerhati Indonesia. Tinggal di Cianjur, Jawa Barat.