_oleh Stanislaus Riyanta_
Wartasulsel.net, – Dispensasi Partai Demokrat kepada DPD yang mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin menunjukkan terjadinya anomali politik di tubuh Partai Demokrat. Dukungan Partai Demokrat kepada Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang sudah diserahkan kepada KPU seolah tidak mampu mengunci sikap Partai Demokrat. Analogi yang bisa dipakai, Partai Demokrat yang sudah bertunangan dengan Prabowo Subianto ternyata masih selingkuh dengan memberikan cintanya kepada Joko Widodo.
Bukan kali ini saja sikap Partai Demokrat tampak seperti anomali, keanehan atau ketidaknormalan suatu partai politik. Pada Pilpres 2014 Partai Demokrat justru tidak menentukan kiblat politik dan hanya mendeklarasikan diri untuk netral.
Tahun 2019 sikap netral tersebut sudah tidak bisa lagi dilakukan karena regulasi sudah berubah. Dan akhirnya Partai Demokrat menjadi partai terakhir yang menentukan arah dukungan pada Pilpres 2019, itupun setelah terjadi drama-drama politik yang menjadi tontonan publik.
Sikap Demokrat yang anomali ini dapat dilihat sebagai sikap partai yang tidak kuat namun ingin mencari aman. Jika Partai Demokrat mempunyai basis massa dan kursi legislator yang cukup dipastikan Partai Demokrat akan mengambil sikap tegas. Namun karena jumlah suara yang terbatas, mau tidak mau maka Demokrat harus membangun koalisi dengan partai lain. Tentu saja membangun koalisi perlu kompromi dan jika kompromi tersebut tidak tercapai maka koalisi tidak akan terbangun.
Demokrat yang dipunggawai oleh Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya mempunyai nilai jual politik tertentu, mengingat pemimpin umumnya pernah berkuasa sebagai Presiden selama dua periode. Namun nilai jual politik tersebut tidak cukup untuk menarik partai-partai lain untuk membangun sebuah koalisi yang mengusung kader Partai Demokrat dalam Pilpres 2019.
Kuat dugaan bahwa Partai Demokrat daya tariknya lemah karena basis massa dan jumlah kursi yang pas-pasan namun keinginan untuk mendominasi koalisi cukup tinggi.
Sikap Partai Demokrat yang ditinggal oleh kader-kader kuatnya untuk mendukung Joko Widodo pada pilpres 2019 menunjukkan bahwa platform politik Partai Demokrat lemah, sehingga menjadi celah terjadinya anomali. Perbedaan sikap kader-kader Partai Demokrat yang tidak mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sesuai dengan kuputusan partai, patut menjadi perhatian serius.
Hal ini dapat dinilai dari dua kemungkinan, pertama bahwa partai Demokrat gagal dalam melakukan doktrinasi kepada kadernya, kedua Partai Demokrat terlalu vulgar dalam bermain aman untuk injak dua perahu. Tentu saja kedua kemungkinan ini tidak akan diakui oleh Partai Demokrat sebagai suatu patologi politik yang sedang menimpa.
Partai Demokrat tentu akan melemparkan narasi sebagai jawaban atas anomali politik ini, dan sepertinya narasi tersebut mudah ditebak oleh masyarakat sebagai suatu strategi oportunis untuk kepetingan partai.
Sebagai partai yang pernah menjadi penguasa selama satu dekade, hendaknya Partai Demokrat mempunyai platform politik yang jelas, dengan kader-kader yang loyal dan militan, serta taat terhadap keputusan partai. Perbedaan sikap kader apalagi yang bersebrangan dengan keputusan partai akan menjadi faktor pelemah Partai Demokrat yang berpotensi menjadi alasan kuat untuk tidak dipilih pada Pileg 2019.
Partai Demokrat harus melakukan perbaikan internal, bersikap tegas, dan menunjukkan kader-kader yang mempunyai daya tarik kuat di masyarakat dengan kualitas politiknya. Satu hal lagi yang penting adalah ketegasan dari pemimpin Partai Demokrat.
Sikap terlalu banyak pertimbangan atau terlalu banyak membawa perasaan (baper) dalam dinamika politik, hanya akan semakin menguatkan persepsi publik bahwa Partai Demokrat lemah dan oportunis.
*) Stanislaus Riyanta, pengamat politik, tinggal di Jakarta.