oleh Stanislaus Riyanta
Wartasulsel.net,- Aksi penolakan oleh berbagai kelompok masyarakat terhadap deklarasi #2019GantiPresiden semakin meluas. Selain di Surabaya, dan Pekanbaru, daerah lain seperti Aceh juga melakukan penolakan.
Kelompok pengusung jargon ganti presiden tersebut, saat ini justru terlihat tidak berhubungan dengan Pilpres 2019. Asumsi bahwa aksi tagar 2019 ganti presiden tidak berhubungan dengan Pilpres diperkuat dengan tidak berubahnya jargon yang diusung padahal calon dari kubu oposisi sudah jelas yaitu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Jika memang bertujuan sebagai propaganda untuk melawan kubu petahana maka seharusnya #2019GantiPresiden selesai dan berganti dangan jargon lain yang membawa nama Prabowo-Sandi pasca pasangan tersebut mendaftar ke KPU. Namun berhari-hari pasca pasangan dari kelompok oposisi tersebut muncul dan mendaftarkan diri, kelompok pengusung 2019 ganti presiden ini justru sibuk ke berbagai daerah untuk tetap menyebarkan jargonnya. Hal inilah yang memperkuat asumsi bahwa #2019GantiPresiden mempunyai tujuan lain diluar Pilpres 2019.
Jargon-jargon lain yang mengiringi deklarasi #2019GantiPresiden seperti ganti sistem pemerintahan, tegakkan khilafah, menunjukkan bahwa tujuan dari deklarasi tersebut adalah memang untuk menganggu kedaulatan negara yang sudah final dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Tentu hal tersebut tidak mengejutkan mengingat berbagai bukti menunjukkan bahwa dalam kelompok tersebut terdapat aktivis HTI, organisasi yang dilarang oleh pemerintah. Organisasi ini dilarang oleh pemerintah karena mempunyai tujuan untuk mengganti Pancasila. Tentu saja persamaan ideologi HTI dan gerakan 2019 ganti presiden bukan hal yang mengejutkan.
Momentum Pilpres 2019 ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ingin mengganti sistem pemerintahan. Dengan beraksi seolah-olah menjalankan hak demokrasi menyuarakan pendapat dalam konteks Pilpres, kelompok ini mempropagandakan ideologinya ke masyarakat luar. Tidak hanya pada momentum politik, kelompok ini juga melakukan propaganda dengan memanfaatkan simbol-simbol dan aktivitas keagamaan sebagai daya tarik menggalang massa.
Ketegasan negara untuk melakukan tindakan hukum sangat diperlukan terhadap aksi 2019 ganti presiden yang sudah menyertakan simbol dan pesan untuk mengganti sistem pemerintahan dan menegakkan ideologi tertentu selain Pancasila. Proses hukum harus dilakukan agar celah-celah kerawanan tidak semakin meluas karena adanya pembiaran. Perlawanan oleh masyarakat di berbagai daerah sudah menunjukkan bahwa masyarakat sudah tidak sabar untuk bertindak terhadap gerakan yang mengganggu kedaulatan negaranya.
*Tindakan Tegas Harus Dilakukan*
Ketegasan aparat keamanan di Surabaya, Pekanbaru dan daerah lainnya untuk melarang deklarasi #2019GantiPresiden sangat tepat. Pelarangan tersebut adalah bentuk dari pencegahan dini atas terjadinya konflik sosial. Aparat keamanan dipastikan sudah melakukan analisis risiko, jika deklarasi tersebut dilakukan dipastikan terjadi benturan dengan massa penolak yang dampaknya tentu akan sangat besar bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Terkait dengan rencana aksi deklarasi di berbagai daerah lain dan mengingat resistensi yang kuat dari masyarakat maka aparat keamanan diharapkan dapat melakuan tindakan deteksi dini dan cegah dini dengan pelarangan. Motif aksi yang terbaca pada jargon yang muncul serta profil dari orang-orang yang mendukung aksi tersebut sudah cukup bagi aparat keamanan untuk tidak ragu dalam mengambil tindakan hukum secara tegas.
Aksi #2019GantiPresiden sudah mulai membuka topengnya. Motif untuk mengganti sistem pemerintahan dan menegakkan khilafah sudah mulai ditampilkan. Momentum Pilpres 2019 dijadikan kendaraan bagi kelompok ini untuk melakukan propaganda dan penggalangan massa. Jangan sampai aksi ini membesar dan mengganggu kedaulatan negara. Semua warga negara yang normal dan cinta tanah airnya, tentu tidak akan ikhlas terjadi konflik dan kekacauan di negaranya.[•]
*) Stanislaus Riyanta, pengamat politik dan keamanan, mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia.
(IKF/redws)