Oleh : Eko Kunthadi
Wartasulsel.net,- Muak! Itulah kesan yang muncul saat melihat segerombolan orang yang demi memenuhi syahwat politik menghalalkan segala cara. Berkedok agama, nama Tuhan di bawa-bawa, masjid jadi posko politik untuk menghantam lawan politik, dan Tanah Suci yang seharusnya steril dari ambisi dunia pun dijadikan tempat kampanye dungu oleh kelompok #2019Ganti Presiden tersebut.
Publik tentu menyaksikan bersama, ketika seorang perempuan berteriak-teriak dengan orasi ganti presiden di salah satu masjid di Solo. Videonya viral di medsos. Silahkan dicek sendiri, jejak digital masih ada. Ada juga yang mengotori nama Tuhan dengan mengelompokkan partai Allah dan partai Setan. Dan baru saja publik juga menyaksikan, sekelompok orang yang berfoto di Tanah Suci Mekkah dengan memegang spanduk dan mengenakan kaos #2019GantiPresiden.
Soal Meiliana, PKS termasuk penistaan agama ketika singgung adzan
kiai Husen sindir umat Islam yang sedikit-sedikit marah dan ngambek
Padahal telah ditegaskan oleh Imam Masjidil Haram Syeikh Sudais, agar Mekkah tak dijadikan tempat untuk bepolitik. Tetapi karena syahwat yang sudah dipuncak orgasme, imbauan pun tak dihiraukan.
Yang hendak ditegaskan di sini, bukan soal dukung mendukung satu calon. Mendukung Jokowi atau menolak Prabowo atau sebaliknya. Menolak #2019GantiPresiden bukan berarti mendukung Joko Widodo atau menolak Prabowo. Tetapi yang bisa kita lihat belakangan ini, cara-cara kampanye yang dilakukan gerombolan sok suci itu yang sudah jauh dari etika.
Mereka yang mayoritas adalah orang intelektual itu, telah dengan sengaja melakukan pembodohan terhadap masyarakat. Mereka berguru pada akal dan nafsu, selompok manusia yang sudah tidak punya hati nurani.
Kalau baru-baru ini kita menyaksikan Meiliana divonis menistakan agama hanya karena meminta volume adzan dikecilkan, bukan orang-orang seperti mereka ini yang lebih pantas menistakan agama? Agama dijadikan alat politik. Tuhan diajak berpolitik praktis. Masjid jadi tempat kampanye politik untuk menyerang orang yang tidak disenangi.
Saatnya masyarakat mulai peka dengan kondisi politik di tanah air yang sudah jauh dari etika. Masyarakat harus cerdas dalam melihat dan tidak menerima informasi begitu saja. Jangan sampai menelan informasi mentah-mentah. Masyarakat yang cerdas akan tahu membedakan mana yang benar-benar memperjuangkan kebenaran dan mana yang hanya berTuhan pada syahwat dan kekuasaan. Mari kita belajar hidup dengan akal sehat!
(IKF/redws)
*Penulis adalah Jaringan Muda NU