Membangun demokrasi tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Membangun demokrasi membutuhkan banyak perangkat yang semuanya tidak datang begitu saja. Demokrasi harus dijalani dengan proses yang berbelit dan tidak ada jaminan keberhasilan dan kesuksesannya. Membangun demokrasi yang diharapkan membawa kesejahteraan masyarakat tidak akan dicapai bila hanya melakukan perubahan sistem ataupun aturan prosedural belaka, namun juga menyangkut budaya/culture dari elit politik maupun masyarakat secara keseluruhan.
Kini bangsa Indonesia dihadapkan pada pelaksanaan Pilkada langsung. Mau tidak mau Pilkada langsung merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan demi pembelajaran demokrasi, sehingga sangat wajar jika Pilkada langsung ini memunculkan beragam persoalan dan menebar ancaman.Pelaksanaan Pilkada langsung jelas bukan persoalan seepele, karena berbagai kepentingan yang terlibat di dalamnya jauh lebih pelik dibandingkan dengan pemilu presiden dan wakil presiden, unsur primordial dan fanatisme jauh lebih kental. Tidak jarang terjadi bentrokan antar kelompok pendukung calon yang sampai menyebabkan jatuhnya korban.
Sunggiuh ironis ketika demokrasi seharusnya mengutamakan akal sehat, yang justru terjadi adalah sikap fanatisme yang penuh emosi. Situasi tersebut di perparah dengan adanya berbagai manuver dan kepentingan-kepentingan dari luar, baik itu kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi.Pilkada langsung merupakan moment penting bagi siapapun. Kepentingan para elit partai, pemilik modal, birokrasi dan pemerintah campur aduk menjadi satu untuk menjadi pemenang. Kepentingan elit partai terlihat saat seorang calon harus berangkat dari gerbong partai, disini terlihat bahwa partai politik tidak mau kehilangan kekuasaannya. Semua elemen tidak mau kehilangan momentum Pilkada langsung. Sehingga bisa jadi, Pilkada langsung yang sebenanrnya adalah pesta demokrasi yang dimiliki oleh rakyat akan dibajak oleh elit politik maupun pemilik modal. Pilkada langsung hanyalah sarana menuju demokrasi, bukan jaminan berlabuhnya nilai-nilai demokrasi, juga bukan demokrasi itu sendiri.
Sama halnya dengan pelaksanaan Pilkada Kab. Takalar Propinsi Sulawesi selatan, Berbagai cara dan jalan telah diusung agar merangkul partisipan masyarakat umum. Spanduk-spanduk dengan ukuran super ekstra pun mulai terpampang dilengkapi dengan poin-poin janji di berbagai badanjalan dan pusat kramaian yang sering dilalu-lalangi publik. Selain itu mereka pun mulai beraksi di lapangan untuk mencari dukungan nyata.Namun setalah tahapan penghitungan suara dan telah diumumkan oleh KPUD ,tentunya ada paslon yang kalah dan menang, realita dilapangan hingga saat ini paslon yang kalah merasa tidak puas atas hasil pelaksanaan Pilkada dimana menuding pihak pemyelenggara melakukan kerjasama dengan paslon lain untuk melakukan kecurangan – kecurangan secara massif. Berbagai persoalan yang timbul dan dinilai sebagai pelanggaran yaitu adanya pemilih siluman, pemilih ganda dan pemilih dibawah umur (versi paslonyang kalah no 1 H. Burhanuddin – Natsir Ibrahim).
Aksi unjuk rasa terhadap penyelenggara Pilkada (KPUD dan Panwaslu) terus dilakukan untuk menyuarakan aspirasi sebagai bentuk pressure agar bisa akomodir hingga melayang Gugatan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Perlu menjadi catatan adalah terkait kompetisi antar elite politik (calon Bupati) ditengarai cenderung mengabaikan etika dan estetika politik sehingga bermuara pada menipisnya moralitas dan kesantunan, yang kemudian melahirkan kegamangan, kebingungan hingga apatisme politik. Di mana kebiasaan saling menuding antar calon dan mengklaim diri sebagai calon terbaik serta ada juga terjadi perusakan sejumlah atribut partai dan gambar calon yang diusung untuk maju menjadi pemimpin juga menjadi indikasi bahwa menipisnya kesantunan dalam berpolitik.
Mengurai sejumlah problem di tengah realitas politik itu meniscayakan logika yang dapat menjernihkan segudang permasalahan dan persoalan Takalar. Salah satunya dengan mengembalikan norma kesantunan, etika, estetika, dan moralitas dalam berpolitik dari para calon kandidat bupati takalar, sehingga tercipta Pemilukada yang damai, jujur dan adil.Kedamaian itu diharapkan menapaki roh demokrasi sebagai penentu nasib warga Takalar ke depan. Optimisme lahirnya pemimpin dan kepemimpinan kemudian dihadapkan pada kedewasaan berpolitik menjadi keharusan dalam menghadapi realitas politik yang diwarnai kompetisi di tengah konstelasipolitik, terutama dengan munculnya fenomena saling mencaci antar elite bahkan perseteruan yang melibatkan personal elite tertentu.
Kekhawatiran di tengah hiruk-pikukmulai dari prose tahapan kampanye hingga bersengketa di MK , di mana kemampuan elite politikmengelola konflik menjadi suatu keharusan sehingga pesta demokrasi yang menjadi hajatan dapat terlaksana dengan transparan dan adil. Pilkada secara damai adalah alternatif untuk menyelamatkan demokrasi melaluiproses-proses yang normal.
Untuk mewujudkan pilkada yang damai, setidaknya ada dua faktor penting yang harus terlibat. Pertama adalah KPU yang berwenang melaksanakan pilkada. Di tangan para pelaksana pilkada inilah akan lahir pilkada yang damai atau pilkada yang bermasalah. Karena itu, penting bagi anggota KPU dan pengawas pemilu (bawaslu) untuk menjalankan perannya secara baik dan tidak memihak. Apabila KPU dan bawaslu telah memainkan perannya dengan benar maka potensi masalah yang muncul dari tidak profesionalnya KPU akan bisa dihindari. Dengan begitu, kemungkinan munculnya konflik pun akan dapat diminimalkan.
Faktor kedua adalah para calon kepala daerah dan tim suksesnya. Para calon kepala daerah memiliki peran yang sangat sentral dalam menentukan pilkada berjalan damai atau tidak. Selama ini konflik yang muncul dari setiap pelaksanaan pilkada akibat calon kepala daerah dan tim suksesnya tidak mau menerima kekalahan.
Sangat penting bagi calon kepala daerah, termasuk tim suksesnya, untuk berlapang dada saat mengetahui pihaknya kalah. Mereka harus benar-benar mewujudkan sikap siap kalah tersebut bukan sekadar penghias bibir, tetapi diwujudkan dalam perilaku. Sering kali kericuhan yang muncul dalam pilkada karena para calon kepala daerah yang kalah dan tim suksesnya menghasut para pemilihnya untuk memprotes hasil pilkada. Hal ini tidak boleh terjadi dalam pilkada serentak kali ini.
Bila dua faktor di atas telah menjalankan perannya dengan jujur dan benar, insya Allah pilkada damai yang kita inginkan dapat terwujud.
Dalam kontek inilah etika politik para calon bupati Takalar baik yang menang maupun yang menjadi kesadaran politik sebagai bagiantanggung jawab menyelamatkan dengan meracik kedamaian dan kebersamaan dengan mempertebal etika dan moralitas berpolitik. Karena dengan begitu, pendidikan politik dan demokrasi warga Takalar akan semakin tinggi, sehingga mampu bersikap kritis dan rasionalitas. Karena hanya dibangunmelalui pendidikan politik yang berkualitas akan meminimalisasi keculasan elite politik yang dilegalisasi kontitusi.
swd/opinion