Islam Politik, Calon Non Muslim & “Post-Truth Politics”

Kriminal225 views

Klaim dan argumentasi para pendukung Islam Politik (IP) yang menjajakan dan mengampanyekan gagasan dan “fatwa” agar ummat Islam tidak memilih “Pemimpin Non-Muslim”, tampaknya adalah sebuah manuver politik yang tidak didukung oleh fakta apalagi konsistensi sikap dari parpol yang selama ini menmiliki basis massa ummat Islam di negeri ini. Bahkan, bisa jadi fenomena ini adalah semacam politik pasca-kebenaran (post-truth politics) yang khas Indonesia pasca-reformasi.

Kendati kelompok IP cukup berhasil menarik perhatian publik, khususnya ummat Islam, melalui berbagai aksi massa dan pemanfaatan media, khususnya medsos, untuk mendukung “fatwa” MUI terkait larangan ummat Islam memilih pemimpin non-Muslim, fakta di lapangan bicara lain. Jika informasi yang saya dapatkan dari twitter  benar, maka ternyata di beberapa daerah di Indonesia parpol-parpol Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB) mendukung paslon-paslon yang non-Muslim, setidaknya salah satu diantara pasangan yang ada. Inilah daftarnya:

Daeng Manye
  1. PKS, PAN, dan PBB mengusung Paulus Kastanya calon Walikota Ambon
  2. PKS, PKB, PPP mengusung Irene Malibuy calon Gubernur Papua Barat
  3. PKS dan PDI mengusung Samson Atapan calon Bupati Seram
  4. PPP dan PAN mengusung Jefri Towu Kore calon Walikota Kupang
  5. PKS, PAN dan PBB mengusung Yudas Kortanius calon Bupati Mentawai
  6. PKS, PKB, PD mengusung Hendrata Thes calon Bupati Sulu Utara

Bagi saya pribadi, fakta-fakta tersebut tentu sangat menggembirakan dan saya syukuri, karena berarti politik identitas, yang berwujud primordialisme dan sektarianisme, khususnya yang menggunakan agama, tidak menular ke wilayah lain seperti yang terjadi di DKI dalam musim Pilkada tahun ini. Lebih jauh, fakta-fakta tersebut juga menunjukkan betapa tidak konsistennya pihak-pihak yang selama ini menggembar-gemborkan “fatwa” MUI tersebut, padahal mereka menjadi bagian dari parpol-parpol Islam tersebut. Inilah salah satu ciri khas dari fenomen yang disebut secara populer dg “post-truth politics”!

Kelompok IP biasanya mengajukan argumen bahwa gugatan terhadap Ahok dengan dugaan penistaan agama tidak ada kaitan dengan masalah politik, karena toh yang di daerah-daerah lain pemimpin non Muslim bisa juga didukung. Argumen tersebut sangat sulit diterima, karena “fatwa” MUI tentang larangan memilih pemimpin non Muslim bagi ummat Islam, sifatnya umum dan bahkan “mengikat” semua ummat Islam di negeri ini. Jika demikian, bukankah dukungan parpol Islam terhadap calon-calon non Muslim tersebut merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap “fatwa” MUI tersebut. Pertanyaan berikutnya, lantas buat apa para tokoh partai-partai Islam tersebut ikut menyebarluaskan “fatwa” tersebut melalui berbagai kegiatan ceramah, aksi demo, dan lainnya?

Rakyat Indonesia pada akhirnya bisa membuktikan bahwa politik pasca-kebenaran (post-truth politics) yang dikembangkan oleh kalangan IP kini berbalik menghantam dirinya sendiri alias backfired. Alih-alih kampanye mereka efektif, justru kini dimentahkan bukan oleh siapa-siapa, tetapi oleh parpol-parpol Islam sendiri secara terbuka dan telak! Ini menjadi salah satu bukti bahwa kekuatan pengaruh IP di Indonesia terbatas pada klaim dan wacana publik, sedangkan resonansinya dalam penerapan di lapangan tak cukup kuat. Ia terdengar hebat karena digaungkan di ruang publik melalui medsos yang, kita ketahui, merupakan bagian integral dan karakter dari fenomena “post-truth politics” di seluruh dunia.

Walaupun demikian, bukan berarti pengaruh IP lantas akan hilang begitu saja dari percaturan politik Indonesia di waktu dekat. Ia masih akan menjadi salah satu fakta politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan menjadi bagian dari dinamika konsolidasi sistem demokrasi konstitusional di Indonesia. Memantau dan mencermati fenomena “post-truth politics” di Indonesia, yang dikembangkan oleh IP adalah salah satu tugas kita bersama sebagai bangsa yang cinta NKRI. Wallahua’lam.

*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.