Kedubes Palestina membuat rilis untuk media yang isinya menyesalkan penggunaan bendera negara tersebut untuk demo ormas Islam di Indonesia. Dalam rilis yang bertanggal 25/1/17 itu, antara lain dikatakan bahwa: “Kedubes Palestina dengan sangat menyesal telah menyaksikan pengibaran bendera Palestina berbagai unjuk rasa tidak damai, yang murni berkaitan dengan masalah dalam negeri Indonesia. Jelas bahwa perilaku yang tak bisa diterima tersebut, sama sekali tak bisa dianggap sebagai suatu dukungan ataupun solidaritas kepada Negara Palestina.” Selanjutnya dikatakan dalam rilis tersebut. “teman yang murni dan tulus terhadap Palestina pasti akan menjaga stabilitas dan kedamaian di negara mereka jika mereka benar-benar ingin menciptakan kedamaian di Palestina.”
Pers rilis tersebut memang tak menunjuk dengan jelas siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang melakukan unjuk rasa “tidak damai” tersebut. Namun, yang menarik adalah munculnya respon dari FPI terhadap pers rilis Kedubes Palestina tersebut. Novel Bamukmin, Sekjen FPI, misalnya, menyatakan: “Biarin saja mereka (Kedubes Palestina) protes. Kami yakin protes Kedubes Palestina itu tidak mewakili suara rakyat Palestina.”
Respon FPI perlu dicermati setidaknya karena dua hal, pertama ada kesan bahwa FPI ‘merasa’ bahwa protes Kedubes Palestina tersebut ditujukan, antara lain, kepada ormas Islam tersebut; dan kedua pandangan Sekjen FPI mengenai posisi Kedubes Palestina yang dikatakan bukan mewakili suara rakyat Palestina.
Yang pertama, tentu adalah hak FPI untuk merasa menjadi pihak yang diprotes, karena mungkin pihaknya seringkali mengibarkan berbagai bendera dan salah satunya adalah bendera nasional Palestina. Bagi FPI mengibarkan bendera tersebut mungkin saja merupakan salah satu cara untuk menunjukkan simpati thd perjuangan rakyat tsb, yang dianggap bagian dari perjuangan ummat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Faktanya memang bukan hanya FPI saja yang gemar membawa-bawa bendera tersebut. Ada sementara ormas Islam lain dan mungkin parpol Islam di negeri ini yang juga sering berunjuk rasa dengan mengibarkan bendera Palestina. Namun isi surat itu memang jelas, bahwa yang diprotes adalah pengibaran bendera Palestina dalam unjuk rasa yang “tidak damai”, dalam pengertian menentang Pemerintah Indonesia sendiri.
Yang kedua, statemen Sekjen FPI bahwa Kedubes Palestina di Indonesia tidak mewakili suara rakyat Palestina adalah sebuah kekeliruan. Sebab perwakilan sebuah negara sahabat di negara lain yang resmi dan diakui oleh hukum internasional, jelas merupakan pertanda bahwa perwakilan tersebut merupakan wakil dari bangsa dan negara yang bersangkutan.
Seandainya bendera Merah Putih digunakan di dalam unjuk rasa di negara lain untuk keperluan yang berbeda dengan kepentingan RI, dan KBRI protes, tentu akan dianggap mewakili rakyat dan negara RI. Penulis setuju dengan komentar Wapres JK mengenai surat protes tersebut, yakni “aksi unjuk rasa tidak ada hubungannya dengan negera itu, maka tidak perlu membawa-bawa benderanya.”
Surat protes Kedubes Palestina itu harus diperhatikan secara serius, bukan saja oleh pihak yang ‘merasa’ diprotes, tetapi juga bagi Pemerintah RI. Sebab hal itu menunjukkan bahwa negara sahabat kita ada yang mulai merasa gerah dan tidak nyaman dengan apa yang terjadi dalam dinamika politik dalam negeri yang dapat berdampak terhadap hubungan antar-negara. Kendati maksudnya mungkin baik, tetapi aksi pengibaran bendera asing yang tidak sesuai dengan aturan internasional dan etika pergaulan antar-bangsa, bisa berbalik menjadi masalah.
Pemerintah RI, cq Kemenlu dan Kemendagri, perlu memberikan pemahaman mengenai masalah ini kepada ormas dan parpol serta organisasi masyarakat sipil. Demikian pula para pihak yg merasa diprotes oleh perwakilan negara Palestina tersebut perlu menyikapinya secara arif. Ini tentu tak hanya berlaku bagi FPI saja tetapi semua ormas yang ada di Indonesia. Jangan sampai suatu maksud yang mulia yakni solidaritas dan dukungan kita selama ini kepada bangsa Palestina yang tertindas dan belum merdeka tersebut malah menjadi ternoda karena ketidakpahaman tentang tata cara pergaulan antar-negara dan antar-bangsa.
*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.